Monday, November 20, 2000

a+ oktober 2000 >> +Memaksimalkan Minimalisme

Memaksimalkan Minimalisme

Teks: Ari Widyati Purwantiasning
Majalah a+ dalam kolom atap - Oktober 2000, volume 1 edisi 05


Ditengah kesibukan dan kepanikan akan deadline yang makin dekat diambang mata untuk mengisi rubrik +atap, akhirnya kami menemukan satu rumah yang sesuai kriteria dan tema minimalisme. Bentuk rumah yang lebih cenderung ke arah postmodernity membuat sosok bangunan yang berlokasi di Bumi Karang Asih, Jalan Karang Asih II C2 No. 36 ini sangat mencolok di antara rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Gampang sekali untuk mencari rumah ini karena bentuk dan warnanya yang berbeda dari rumah-rumah yang lain. Tentu saja perbedaan yang mencolok tersebut memberi satu nuansa tersendiri di kompleks perumahan ini. Pemilihan warna dan juga pemakaian bahan pada bagian tampak bangunan, menjadikan bangunan tersebut terlihat lebih menarik.

Sejenak saya luangkan waktu untuk mengamati bagian tampak rumah yang mengundang mata dan mengesankan. Tanpa memberikan berbagai macam bentuk pada tampaknya, kesan yang saya tangkap adalah kesederhanaan. Seluruh permukaan facade menggunakan unsur rectangle, mulai dari jendela-jendela yang menempel pada dinding sampai pada lubang-lubang angin. Entrance depan dibuat sesederhana mungkin tanpa menyediakan ruang teras yang besar sebagai ruang peralihan. Teras entrance yang nampaknya juga berfungsi sebagai foyer tersebut dinaungi oleh sebuah kanopi kaca tempered dengan menggunakan konstruksi baja gantung dengan beberapa buah tali baja sebagai penggantung kaca tersebut. Transparency! Mungkin itu yang ingin diungkapkan oleh sang perancang.

Pemakaian bahan alam yaitu batu alam paras palimanan, menambah kesan elegant pada facade rumah, kesan tersebut bertambah dengan adanya beberapa titik spot lampu dinding. Yang saya yakin pada malam hari rumah ini akan terlihat lebih romantis dengan lighting yang ada pada dinding maupun kolom-kolom halaman depan.

Konsep garden house ternyata juga terungkap dari ide sang perancang. Dengan memberikan kesan terbuka namun tidak vulgar, halaman depan tidak dibatasi oleh sesuatu yang massive. Maksud saya, pada halaman depan tidak dibuat pagar-pagar menjulang yang berkesan mengekang sehingga rumah akan terlihat tertutup dan juga tidak bersahabat dengan lingkungan sekitar. Seluruh halaman depan dibuat perkerasan yang memenuhi salah satu fungsinya sebagai car port. Dan pada batas tepi kavling dibuat dua buah kolom, yang juga berfungsi sebagai batas territory.

Hal yang pertama kali membuat saya sedikit berkomentar wow adalah ketika saya memasuki ruangan rumah tersebut. Seluruh ruang ter-layout dengan perabot dan asesoris dari Decorous yang memberikan tema simplicity. Kesan rumah kecil dan sempit yang terbersit dalam benak saya saat pertama kali melihat tampak bangunan tersebut, tiba-tiba hilang setelah memasuki ruang utama rumah ini. Ruang yang relatif luas sepertinya berfungsi sebagai ruang tamu, dan ini menurut saya akan lebih cocok bila kedua arm chair yang ada dipindahkan. Dengan menjadikan ruang ini sebagai hall, saya yakin pasti akan memberikan kesan lebih luas lagi pada ruang dalamnya. Luas tanah yang hanya 195 m2 ternyata dapat dioptimalkan dengan menyajikan sosok bangunan yang memfungsionalkan seluruh ruang dengan luas 235 m2.

Simplicity! Mungkin ini merupakan kata paling tepat yang dapat menjelaskan tema rumah ini. Menurut Irmawan Pujoadi sang empunya rumah, konsep simplicity memang rasanya lebih tepat dikatakan sebagai konsep disain rumah ini dbandingkan dengan konsep minimalism. Dengan adanya beberapa macam warna yang digunakan dalam setiap ruangan, dan juga pemakaian beberapa material tambahan seperti sand stone dan juga paras palimanan, tampaknya konsep disain rumah ini tidak tepat dikatakan sebagai konsep minimalist. Karena tentu saja dalam konsep minimalist seluruh unsur yang digunakan lebih mengarah ke warna yang monotone atau juga senada, tanpa ada gradasi dan juga paduan warna. Selain itu, penggunaan perabot yang ada tampaknya tidak dapat dikatakan minimalist lagi karena adanya beberapa pernak pernik yang menjadi asesoris ruangan.

Ide simplicity dalam perancangan rumah ini timbul dalam benak Irmawan ketika ia menghabiskan beberapa waktu di Michigan untuk belajar. Ide tersebut timbul karena keterbatasan ruang dan juga keterbatasan waktu dalam mengurus rumah. Dari sinilah terpikir olehnya untuk menuangkan ide tersebut untuk membuat segala sesuatu lebih sederhana. Penyederhanaan tersebut dimulai dari pengaturan layout ruangan, perabot sampai dengan pemilihan perabot yang simple tanpa banyak ukiran yang memancing bersarangnya debu. Konsep simplicity dalam pemilihan perabot dan asesoris tampaknya lebih cocok menurut Irmawan untuk ruang-ruang yang kecil, sehingga ruang yang ada akan terlihat lebih lapang.

Irmawan berusaha mewujudkan semua angan-angannya dengan membangun rumah berkonsep simplicity di bilangan Cinere ini. Seluruh tahap perancangan dari disain rumah sampai dengan disain tata ruang dalam dilakukan oleh Irmawan sendiri, dengan dibantu oleh seorang teman arsitek yang juga membantu dalam pembangunannya. Menurut saya ide ini sangat tepat untuk diwujudkan dalam ruang-ruang yang kompak dan fungsional. Karena sesunggunya design is not a matter of formula, tetapi adalah sesuatu yang dapat dirasakan dan dilihat. Dari pengalaman melihat dan merasakan inilah akhirnya kita dapat mengkonsentrasikan sesuatu pada konteks the essence of the idea yang ada. Pemilihan konsep simplicity ini sebenarnya untuk menghindari adanya inventions yang tidak relevan dengan tujuan utamanya, yaitu kesederhanaan. Karena pada dasarnya, suatu disain yang semula mempunyai satu konsep utama bila diracik dengan ide-ide yang bermunculan belakangan biasanya akan menimbulkan chaos. Dan terkadang hal yang dapat menimbulkan chaos akan menganggu panca indera kita, khususnya mata.

Memasuki rumah dengan luas lahan yang relatif kecil tentu saja saya bertanya-tanya, berapa jumlah ruang fungsional yang ada di dalamnya. Ternyata keberadaan ruang-ruang dalam rumah ini di luar sangkaan saya. Rumah simple ini terdiri dari 5 kamar tidur dengan 2 kamar mandi dan toilet yang masih juga dilengkapi oleh ruang penunjang lain yaitu ruang-ruang yang ada dalam service area.

Kamar tidur pertama yang saya masuki ditata sedemikian rupa sehingga fungsinya berubah menjadi ruang audio visual dan juga ruang kerja. Hal yang dominan dan terekam dalam mata saya adalah atmosphere yang ada dalam ruangan ini, mempunyai tema yang berbeda dengan ruang-ruang lain di dalam rumah. Irmawan memberikan alasan yang cukup masuk akal, bahwa kebosanan kadang timbul bila ia melihat suasana ruang yang simple dan itu-itu saja. Hal inlah yang membuatnya mencari tema lain yang disajikan dalam ruang audio visual tersebut.

Ruang keluarga, atau lebih tepatnya disebut sebagai ruang duduk karena layoutnya yang terletak tepat setelah ruang tamu, ditata tanpa ada pembatas ruang. Sehingga tamupun dapat dipersilahkan duduk di ruang ini. Berada di ruang duduk ini, saya merasakan nuansa yang berbeda lagi, mungkin karena keberadaaan anak-anak tangga menuju ruang atas. Benar sekali! Keberadaan tangga tersebut menarik perhatian saya. Tidak terlalu unik tetapi komposisi bahannya membuatnya lebih menarik. Perpaduan bahan antara logam dengan kayu pada anak-anak tangga tersebut ternyata sangat serasi. Dan, penggunaan tali-tali baja pada balustrade-nya menambah kesan harmony. Saya dapat menangkap bahwa tangga ini juga dimaksudkan sebagai aksen antara ruang makan dan ruang duduk.

Dari ruang duduk tertangkap oleh mata saya suatu ruang kecil yang terlihat sebagai focus antara ruang makan dan ruang duduk. Ruang kecil tersebut adalah foyer antara kamar tidur utama dan kamar mandi. Ide yang muncul untuk pemanfaatan ruang kecil tersebut sangat tepat karena ruang tersebut difungsikan sebagai ruang wastafel. Tanpa mengurangi kesar sebuah ruang servis dan juga ruang yang layak harus tertutup, ruang kecil tersebut diperlakukan sedemikian rupa sehingga memberi kesan lebih elegan. Beberapa titik spot lampu pada ruang kecil ini memberikan pencahayaan serasi yang menunjang suasana ruang sekitarnya.

Di lantai atas (tambah luas saja kedengarannya rumah ini ya?) terdapat satu hall kecil sebagai ruang penerimaan dari tangga menuju ke ruang yang lebih private. Ruang tersebut ditata sefungsional mungkin sehingga menjadi suatu ruang yang berfungsi sebagai ruang komputer. Langit-langit hall disajikan dengan memberikan finishing touch timber arch. Selain dimaksudkan sebagai penutup kolong atap atau ceiling, timber arch ini juga berfungsi sebagai penutup ruang water heater. Jelas sekali terasa karena ketika itu saya merasa sedikit kepanasan di ruang atas tersebut.

Dari ruang komputer, saya beranjak menuju ke kamar tidur lain di lantai atas yang juga ditata dalam satu area dengan kamar mandi dan toilet. Hal yang menurut saya dapat menjadi contoh yang baik adalah bahwa pengudaraan dalam dua buah kamar tersebut terasa lancar. Cross ventilation terjadi karena kamar-kamar tersebut terhubung langsung dengan ruang luar yang menuju ke kamar mandi. Saya dapat katakan bahwa sirkulasi udara yang menyilang tersebut benar-benar berhasil diterapkan dalam ruang-ruang ini.

Hal yang saya sadari selama saya menjelajahi setiap ruangan adalah adanya suasana yang berbeda pada setiap ruangan. Setiap ruang pada rumah ini memiliki atmosphere yang berbeda sehingga tidak menimbulkan kejenuhan. Setiap ruangan diberi perlakuan yang berbeda, baik dalam pemilihan material bangunan maupun finishing touch yang disajikan. Contoh yang nyata adalah setiap ruangan memiliki finishing touch yang berbeda pada nuansa warna bidang dindingnya. Bukan sembarang finishing cat yang digunakan, tetapi finishing dengan French wash. Pemakaian finishing dengan sistem French wash ini sesungguhnya adalah suatu pemilihan material yang dapat menggantikan fungsi wallpaper yang kurang cocok untuk iklim lembab di Indonesia.

Sambil menunggu selesainya tugas fotografer, saya coba menunggunya di ruang duduk. Saat itu saya layangkan pandangan ke arah void atas menuju hall ruang komputer atas. Ketika itu saya rasakan suasana agak tertekan ketika melihat dinding massive yang menjulang dari bidang dinding ruang duduk ke atas. Sesaat terbersit satu imaginasi, seandainya dinding-dinding massive di atas void tersebut berubah menjadi bidang transparan sampai ke ceiling sehingga menjadi suatu skylight. Saya yakin suasana ruang tersebut akan berubah menjadi lebih menyatu dengan alam luar. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara lantang Sting yang mengisi kesunyian rumah dengan Brand New Day-nya. Bersamaan dengan itu suara adzan panggilan untuk sholat Jumat mengumandang. Nampaknya kami berdua harus pamit untuk memberikan sedikit privacy pada pemilik rumah.


Jakarta, September 2000

a+ oktober 2000 >> +Stadion Utama Senayan

Stadion Utama Senayan

Teks: Ari Widyati Purwantiasning

Majalah a+ dalam kolom pondasi - Oktober 2000, volume 1 edisi 05

Kata fiktif masuk ke dalam kertas cetak biru lalu menyelami kerangka besi beton stadion olahraga kotamadya yang sedang di las sore hari, bunga apinya bepercikan ke segala arah seperti kunang-kunang merah tapi padam sebelum mencapai tanah……

Dua belas bulan kemudian stadion itu ambruk berselengkang patah-patah pada acara musik keras yang dua belas ribu penontonnya sangat marah dan semua menyumpah-nyumpah, kaca mobil parkir dipecah dan polisi menyerah kalah……………..

Gemuruh dan gempita sorak sorai penonton membahana di seluruh sudut Stadion Utama Senayan. Begitulah yang terjadi setiap football season ataupun sport season masuk dalam agenda wajib para penggemarnya. Namun apakah setiap orang pernah menjajagi keberadaan Stadion Utama Senayan ini dan menelusuri sehingga mendapatkan suatu pengalaman ruang tersendiri? Kali ini saya akan mencoba menyentuh keberadaannya di balik kemegahan Stadion Utama yang menjadi pusat olahraga santai untuk semua kalangan setiap akhir minggunya.

Nama Gelanggang Olah Raga Senayan yang biasanya lebih dikenal orang sebagai Gelora Senayan sebenarnya mencakup semua gelanggang olah raya yang berlokasi di daerah Senayan. Nama Gelora Senayan pernah diminta oleh pihak keluarga Bung Karno untuk diganti menjadi Gelora Bung Karno (ternyata bukan hanya Suharto yang narsis). Kompleks ini memiliki sarana dan prasarana olah raga termasuk kompleks perkampungan bagi para atlet yang sangat lengkap termasuk sebuah hotel. Di dalam kompleks ini Stadion Utama Senayan merupakan bangunan utama yang menjadi bagian terpenting dari kompleks gelanggang olah raga ini.

Salah satu keistimewaan dari Stadion Utama ini adalah segi arsitekturalnya. Stadion Utama Senayan dibangun dengan mengangkat arsitektur kuda-kuda temu gelang sebagai struktur utamanya. Pada saat Stadion Utama dibangun pertama kalinya, bentuk arsitektur dengan struktur kuda-kuda temu gelang ini, merupakan salah satu teknologi yang canggih yang jarang digunakan di seluruh dunia. Karena bentuk utama dari massa bangunan gubahan ini berbentuk ellipse dan bentangannya sangat besar, stadion ini memerlukan suatu struktur khusus. Pada saat itulah Stadion Utama Senayan menggunakan struktur utama kuda-kuda temu gelang sebagai atap penutup stadion yang berbentuk ellipse. Patut diketahui bahwa kebanyakan stadion sepakbola dan olahraga lain di dunia lebih banyak yang menggunakan bentuk rectangular, horse shoe, U-shaped dan banyak lagi bentuk yang digunakan berbeda-beda di setiap tempat, yang jelas bentuk ellipse cukup jarang digunakan.

Stadion Utama Senayan ini dibangun pada tahun 1960 ketika Indonesia mendapat suatu kehormatan untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games IV pada tahun 1962. Kita boleh bangga dengan keberadaan Stadion Utama Senayan, karena bangunan ini merupakan salah satu stadion sepak bola terbesar dan termegah di Asia dengan kapasitas penonton 110.000 orang. Dan tentu saja seluruh sudut dari stadion akan terasa sempit dan sesak pada saat musim sepakbola mulai merebak karena bukan hanya penduduk Jakarta yang memeriahkannya, tapi juga para bonek yang berdatangan dari luar kota tidak tinggal diam ikut serta dalam pesta musim sepakbola ini.
Karena kemegahan dari bangunan ini, disamping untuk penyelenggaraan pesta olah raga, stadion ini sering dipakai untuk upacara besar (dari Ulang Tahun PKI sampai Istighosah NU) dan juga pertunjukkan seni kolosal (dari mulai Marching Band sampai Mick Jagger). Oleh karena itu pada tempatnyalah bila seorang arsitek harus memikirkan standar yang harus digunakan dalam perancangan sebuah stadion olahraga. Karena pada keadaan tertentu, sebuah stadion harus mempunyai standar sehingga dapat digunakan untuk kompetisi olimpiade dan kegiatan keolahragaan penyandang cacat.

Pada Stadion Utama Senayan, dapat ditemukan adanya penggabungan lapangan sepakbola dengan lintasan lari di sekelilingnya. Hal ini merupakan penyesuaian terhadap standar atletik internasional yang dapat menentukan ukuran lapangan olahraga tersebut yaitu bentuk dasar ellipse. Umumnya, stadion dibentuk dengan menggali suatu lokasi dan semua bagian tribun (panggung) dibangun menyentuh tanah. Tetapi kemungkinan besar, terbatasnya kemampuan, biaya dan juga mungkin karena keadaan tanah setempat yang tidak memungkinkan, menyebabkan Stadion Utama Senayan dibangun dengan menggunakan struktur utama kuda-kuda temu gelang, tanpa harus membuat galian atau mengorek bagian tanah seperti kolam. Dengan bentuk bangunan megah berbentang besar, atap yang menutupi sebagian Stadion Utama Senayan, yaitu bagian tribun penonton, terlihat melingkar seakan-akan seperti sebuah gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa struktur utama tersebut disebut sebagai kuda-kuda temu gelang. Karena struktur kantilever dari atap melingkar seperti gelang.

Di samping itu, berdasarkan rencana tata kota sebuah stadion hendaknya terpadu dengan lingkungan sekitarnya dengan prasarana jalan yang mudah untuk lalulintas dan pengiriman perbekalan. Hal ini tentu saja dapat terlihat jelas, Stadion Utama Senaya sengaja di’letak’kan di antara jalan utama Sudirman dan Asia Afrika. Selain itu, hal yang dominan adalah keberadaan stadion ini yang jauh dari lingkungan industri yang mencemarkan, yang juga sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan untuk pembangunan sebuah stadion olah raga.

Arsitek kuno Vitruvius yang hidup pada abad pertama SM, mengatakan bahwa deretan bangku dan teras berdiri hendaknya mempunyai kemiringan rata-rata yang tetap, hal ini dimaksudkan sesuai dengan alasan peredaman suara dan juga sudut serta jarak pandang penonton. Namun karena munculnya teknologi pengeras suara yang sangat membantu, hal ini tidak lagi menjadi hal yang dominan untuk menjadi pertimbangan. Hal utama yang terlihat di Stadion Utama Senayan adalah pertimbangan akan sudut dan jarak pandang penonton. Jangan sampai deretan bangku-bangku penonton terletak di samping dinding yang cukup tinggi yang akhirnya menutupi pandangan penonton untuk melihat lambungan bola Bima Sakti.

Satu hal lagi yang juga penting untuk dilihat adalah penyediaan fasilitas umum seperti toilet. Sayang, tampaknya fasilitas wajib satu ini belum tersedia cukup banyak dan juga radiusnya relatif agak jauh dari tribun Stadion Utama Senayan. Problem ini jelas terlihat ketika musim pesta olahraga berlangsung, penonton yang membutuhkan fasilitas tersebut banyak yang memilih untuk tidak menggunakan toilet sebagaimana mestinya. Tetapi mereka, khususnya kaum Adam lebih memilih untuk mengotori dinding-dinding struktur Stadion Utama daripada pergi ke toilet untuk buang hajat. Saya tidak dapat menyalahkan kedua pihak baik para pengguna ataupun juga pengelola bangunan itu sendiri. Karena kemungkinan besar masyarakat kita memang belum mengerti pentingnya kebersihan.

Stadion Utama yang menjadi simbol prestasi olah raga nasional para atlet Indonesia ini, merupakan bangunan yang juga menjadi saksi bisu semua peristiwa baik kegiatan olah raga maupun kegiatan lainnya yang pernah atau sedang berlangsung di dalamnya. Hal ini tentu saja bukan tujuan utama arsiteknya, dan tentu saja Stadion Utama Senayan ini dibangun tidak hanya sebagai simbol individu arsiteknya tetapi juga sebagai bangunan yang mempunyai ruang-ruang fungsional yang menunjang seluruh kegiatan yang dilaksanakan di dalamnya. Jika kita memasuki bangunan Stadion Utama Senayan ini, tentu saja kita akan merasa hanya sesosok benda kecil dibandingkan dengan kemegahan bangunan ini. Semoga saja hal itu benar adanya, bahwa Stadion Utama Senayan ini bukan merupakan pengejawantahan dari sebuah ekspresi keangkuhan sebuah individu. Karena sejarah telah banyak membuahkan bukti-bukti nyata bahwa terkadang arsitektur menjadi sebuah bentuk penyelewengan dan sebagai alat untuk mengekspresikan sebuah keangkuhan.

Satu hal lagi yang belum terpikirkan selama ini adalah kenyataan bahwa bangunan ini hanya digunakan pada moment tertentu yang memerlukan suatu ruang yang besar sekali. Tentu saja Stadion Utama ini dapat dimasuki oleh semua orang dari seluruh kalangan publik, tetapi apakah seluruh kegiatan tersebut berlangsung secara periodical dan frequently? Tentu saja hal ini akan mempengaruhi aspek building management yang juga akan berpengaruh pada nilai bangunan tersebut. Bagaimanakan caranya membudayakan public facility ini menjadi hal yang juga penting untuk digunakan tidak hanya pada saat pesta olah raga berlangsung? Mungkin dengan menyediakan suatu sarana yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari seperti pemanfaatan beberapa ruang yang ada di Stadion Utama Senayan tersebut sebagai museum sepakbola misalnya ataupun museum olah raga nasional. Hal seperti ini akan sedikit membantu dalam merawat dan mengekspresikan suatu hasil arsitektur yang menjadi simbol olah raga nasional negara kita. Bukan sebagai bangunan stadion semu yang hanya berfungsi pada saat-saat tertentu, tetapi lebih kepada sebagai suatu Stadion Utama yang hidup dan selalu ekspresif serta fungsional.

Di lapangan parkir mahasiswa terbenam kesibukan membawa kain rentang panjang penuh alfabet kapital dan tanda seru ancaman, besok malam dimaksudkan sekaligus menjadi kain kafan, berdesak-desak riuh rendah menggergaji batang leher fiktif, kenyal luar biasa....

Mana bisa..

Taufik Ismail, 1998



Jakarta, September 2000

a+ oktober 2000 >> +Liverpool Fine City

Liverpool Fine City

Teks & Foto: Ari Widyati Purwantiasning
Majalah a+ dalam kolom dadah - Oktober 2000, volume 1 edisi 05


Satu tahun sudah saya mencoba mengamati, mempelajari, merasakan dan juga mengenal kota Liverpool dari sudut University Precinct Mulberry Court, Mountpleasant. Ternyata waktu satu tahun bukanlah waktu yang terlalu lama untuk mengenal kota Liverpool secara detail, dari mulai orang-orang Liverpool yang dikenal sebagai Scousers (karena langgam bicara mereka yang unik seperti menyanyikan sebuah lagu bila berbicara), sampai dengan kebiasaan-kebiasaan mereka dan juga point of interest yang ada di Liverpool. Namun satu tahun juga merupakan waktu yang cukup untuk menambah wawasan dan mengenal kota tersebut yang biasanya hanya dikenal orang sebagai kota ‘bola’ dengan Owen si Magic Boy atau sebagai kota kelahiran The Beatles. Lupakan sejenak pandangan orang mengenai hal tersebut. Liverpool bukan hanya kota ‘bola’ atau kota ‘Beatles’, tetapi juga merupakan salah satu kota di Inggris yang menarik untuk dijamah dan dikupas dari semua sudut pandang.

Liverpool merupakan salah satu district Merseyside dengan bangunan-bangunan tua yang menarik dinikmati baik arsitekturnya maupun keunikan kebiasaan masyarakatnya. Patutlah bagi para travelers untuk menjajal berkunjung ke Liverpool dan memasukkannya pada agenda perjalanan mereka.

Pada mulanya, saya sangatlah terpada melihat betapa kecilnya kota ini, dan saya sempat berpikir, apakah saya dapat bertahan tinggal di kota sekecil ini. Tetapi ternyata seperti telah saya sampaikan sebelumnya, setahun bukanlah waktu yang lama. Selama satu tahun tersebut saya dapat melihat banyak dan belajar banyak dari kota kecil ini.

Masyarakat Liverpool sebagian besar adalah pelajar, kota ini mungkin bias menjadi sister city kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Pada satu waktu sesak dan semarak dengan tawa riang pelajar-pelajar yang berdatangan dari berbagai kota maupun berbagai Negara, dan pada saat libur musim panas, kota tersebut terlihat sungguh sunyi dari suara-suara tawa dan canda mereka di semua sisi dan sepanjang jalan pusat kota. Liverpool memiliki beberapa perguruan tinggi diantaranya Liverpool University dan John Moores University yang sebelumnya merupakan politeknik.

Liverpool yang merupakan kota kecil, ternyata memiliki satu keunikan diantara beberapa kota di Inggris, yaitu kehidupan masyarakat mereka yang sangat harmonis dan rukun. Kesopan-santunan dan keramah-tamahan masyarakat local Liverpool ini memberikan satu tempat tersendiri di hati saya untuk selalu dikenang. Mungkin hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa, tetapi bagi para pengunjung yang telah bepergian ke banyak tempat, mereka pasti akan dapat merasakan perbedaannya, bahkan dapat dibedakan antara orang-orang London yang dikenal lebih snobbish dibandingkan dengan orang-orang Liverpool yang lebih down to earth. Suasana dan situasi di kota besar yang hectic juga mungkin yang menyebabkan perbedaan antara kota-kota besar lain dengan Liverpool. Jangan heran bila anda sedang berjalan menyusuri pedestrian menuju pusat kota, tiba-tiba anda akan disapa oleh seseorang yang tidak anda kenal, “Are you alright?” atau “Good morning, how are you today?” Hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang big deal tentu saja, tetapi merupakan hal yang menyenangkan bagi turis asing yang dating ke kota asing seperti Liverpool.

Dari waktu ke waktu, Liverpool memberikan perubahan baik dalam bentuk fisik maupun suasana di berbagai sudut pusat kota. Dimulai dari pusat kota di mana terdapat bar, restoran dan pertokoan bursting out di setiap sudutnya. Ada beberapa hotel baru dan pengembangan perkantoran di setiap sudut. Beberapa bangunan-bangunan tua sedang dalam proses refurbishment dan renovation, tapi keadaan jalanan di sekitarnya tetap terlihat bersih.

Perbedaan Liverpool tidak hanya terlihat dalam bentuk fisik saja, namun ada suatu image dari Liverpool yang selalu membuatnya lain dari yang lain. Kemudahan transportasi misalnya. Local authorities Liverpool telah menambah rute coaches dari beberapa kota di Inggris ke Liverpool. Bahkan local airport Liverpool juga telah menjadi salah satu tujuan Easyjet dari berbagai negara tetangga Inggris. Seperti misalnya bila turus ingin terbang dari Amsterdam, Barcelona, Venice, Paris, dll ke Liverpool ataupun sebaliknya, dapat menggunakan fasilitas Easyjet ini yang harga tiketnya pun relatif sangat murah.

Sudah menjadi suatu issue yang penting bahwa di Liverpool telah muncul beberapa ide untuk proyek-proyek baru maupun perombakan-perombakan di setiap sudut kota. Hal ini mengingatkan sejak beberapa waktu lalu bahwa setiap orang seharusnya menyadari akan potensi yang ada di Liverpool.

Pusat kota Liverpool sendiri menjadi suatu indikasi yang penting dari perubahan-perubahan di kota Liverpool akhir-akhir ini. Beberapa tahun lalu pusat kota Liverpool sangat sepi dan tidak terkesan ramah, keadaan bangunan-bangunan tua sungguh merupakan momok bagi para pengunjung, karena hal tersebut mengesankan suasana yang cukup trainspotting, mengerikan dan tidak terawat. Namun dengan adanya berbagai program partnerships baik dari pemerintah pusat Inggris maupun dari Eropa, maka Liverpool dapat membangkitkan semangatnya kembali dengan memunculkan beberapa potensi daerah menjadi daerah wisata bagi para turis.

Dari pusat kota, saya akan coba untuk menelusuri beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi. Pertama saya berjalan agak mendaki menuju University Precinct sepanjang Hardman Street yang merupakan lokasi paling menarik bagi para beer travellers. Di sepanjang jalan ini terdapat kafe-kafe dan juga bar yang digemari oleh masyarakat Liverpool. Mereka sangat gemar melakukan ritual pub crawl di mana mereka akan mendatangi bar-bar dan kafe-kafe yang berada di pusat kota satu persatu dari senja mulai turun sampai dengan dini hari.

Tradisi pub crawl ini sangat popular dikalangan orang Inggris apalagi Liverpool yang juga dikenal sebagai kota pelabuhan. Mungkin karena letak Liverpool yang juga dekat dengan Irlandia, maka kebiasaan minum-minum ini juga menular sangat kental pada masyarakat Liverpool. Jika anda ingin sekali mengunjungi Liverpool dan mencoba tradisi pub crawl ini jangan lupa untuk mencoba Guinness, bir hitam lambang kebangsaan Irlandia.

Janganlah terpana bila begitu akhir pecan dimulai Anda akan melihat sesaknya setiap pub, bar dan kafe di pusat kota dengan pelajar, pegawai dan juga para orang tua. Bahkan mereka akan rela mengantri di sepanjang jalan untuk memasuki kafe, pub dan bar tersebut.

Selain di Hardman Street, ada satu lokasi lagi yang juga sangat terkenal, yaitu Matthew Street, di mana para anggota The Beatles biasanya manggung pada salah satu kafenya, di sinilah kemudian ’the cavern club’ lahir. Di sinilah The Beatles lahir ke dunia musik. Karena ini Liverpool akhirnya juga dikenal sebagai the city of music yang melahirkan grup pop yang kesuksesannya bakal sulit disaingi ini. Dan, jangan heran bila salah satu anggota dari Spice Girls pun berasal dari Liverpool. Bila anda berkunjung ke Liverpool, mungkin anda kadang bertemu dengannya di Tesco, Hero-nya Inggris. Satu lagi bagi para penggemar The Beatles, bila berkunjung ke Liverpool jangan lewatkan The Beatles’ Festival setiap tahunnya pada bulan Agustus. Semua orang terlihat dengan berbagai kostum dan pernak pernik The Beatles, termasuk poni ’mangkok’ nya. Tahun lalu festival tersebut menyediakan beberapa panggung dengan panggung utama di Albert Dock, dan beberapa panggung lain di Castle Street, Victoria Street, North John Street dan Chavanese Street, dengan tema Yellow Submarine Day. Seluruh pusat kota penuh sesak dengan orang dari berbagai penjuru daerah dan kota, setiap bar, pub dan kafe berjejalan dan sesak. What a day!

Dari Hardman Street, tepat di perempatan ujung jalan tersebut, terdapat satu kafe dan restoran yang cukup bergengsi dan terkenal relative mahal, yaitu Philharmonic Restaurant. Di seberang restoran tersebut adalah Philharmonic Hall, tempat yang terkenal dengan tim paduan suara Philharmonic Orchestra-nya. Berjalan lebih ke depan, kita akan memasuki Catherine Street dan juga area University Precinct, di mana Liverpool University terletak. Di dalam lokasi universitas ini juga terdapat beberapa kafe dan bar seperti No. 5 cafe, Cambridge Cafe, Augustus John Cafe dan Varsity Cafe, yang populer bagi mahasiswa mahasiswi universitas tersebut, karena tentu saja harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan kafe dan bar di pusat kota.

Di sisi lain, dari pusat kota, bila kita berjalan berlawanan arah dari Hardman Street yaitu menuju ke arah Church Street dan lebih jauh lagi, kita akan berjalan menuju pelabuhan yang dikenal sebagai Albert Dock. Legendanya, pada jaman dahulu kala di Albert Dock ini terdapat sekelompok burung yang disebut sebagai burung Liver. Itulah sebabnya mengapa kota kecil ini disebut sebagai Liverpool.

Pelabuhan ini termasuk pelabuhan terbesar di dunia. Banyak kapal besar pernah berlabuh, termasuk The Titanic. Di Albert Dock, para turis dapat menikmati beberapa tempat seperti Merseyside Maritime Museum, The Beatles Story Museum, Museum of Liverpool Life dan Tate Gallery. Sebuah shopping arcade juga dapat ditemui di Albert Dock. Buat anda yang merasa perlu mendokumentasikan ke ‘nomad’ an Anda, di sini dapat ditemukan semua souvenir dan benda-benda menarik khas Liverpool.

Dan satu lagi, bila anda ingin mencoba menyeberang Mersey River anda dapat mengunjungi daerah seberang Liverpool yang terkenal yaitu Hamilton Quarter Birkenhead yang termasuk daerah baru dari Wirral. Dari namanya terdengar cukup unik, ya, karena daerah Birkenhead dikenal dengan legenda kota hantunya, bahkan pada setiap tahunnya, masyarakat Birkenhead mengadakan suatu festival dengan pertunjukkan hantu-hantunya. Anda dapat menggunakan pelayanan ferry untuk menyeberang ke Birkenhead dari Pier Head Albert Dock.

Selain itu, bila anda ingin sekedar minum café latte, cappuccino ataupun sekedar minum teh pada sore hari, di sepanjang shopping arcade ini terdapat beberapa café yang menyediakan minuman tersebut. Pada akhir pekan Albert Dock cukup ramai dengan orang-orang yang memenuhi kafe, restoran dan pub. Pada salah satu kafe tersebut ada satu kafe yang terkenal dengan music jazz-nya. Di sinilah saya sering menghabiskan waktu untu mencari ilham sambil mendengarkan music jazz dengan teman scousers saya. Dari dialah saya mengenal jauh mengenai Liverpool, bahkan tempat-tempat dimana teman-teman dari Indonesia yang lain tidak pernah tahu keberadaannya.

Dari dialah saya tahu keberadaan ‘pasar senggol’ nya Liverpool. Di pasar senggol ini anda dapat menemukan berbagai benda dan barang unik yang tidak dapat ditemukan di tempat lain, ada juga barang-barang bekas yang masih layak pakai. Bila anda ingin menjajah ke pasar senggo ini, anda dapat coba cari di sepanjang School Lane Street, yaitu sebuah gedung tua dengan papan nama Quiggins yang terdapat di sebelah Bluecoat Triangle. Atau jika anda juga tertarik untuk mencoba masuk ke Bluecoat Triangle, anda dapat mencoba kafe dan restorannya. Dan kalau anda kutu buku anda pasti akan senang ngendon di dalam gedung ini karena di sini banyak sekali bursa buku murah.

Ternyata kota kecil ini memberika kesan dan kenangan tersendiri bagi saya. Bagaimana? Anda tertarik untuk mencoba bergabung dengan para scousers? Ingin mencoba tradisi mereka dengan pub crawlnya? Atau anda ingin sekedar duduk-duduk di plaza Mersey River sambil makan es krim dan mencari ilham?


Jakarta, Agustus 2000