Friday, September 28, 2001

Segitiga Emas Agustus 2001 >> Accessible Environment

Accessible Environment

Teks: Ir. Ari Widyati Purwantiasning, MATRP
Dipublikasikan di Majalah Segitiga Emas Agustus 2001

Bila membaca judulnya, pasti Anda bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan accessible environment. Apa kaitannya dengan kondisi lingkungan pembangunan kota Jakarta, khususnya kawasan Segitiga Emas. Bagaimana pula hubungannya dengan peranan arsitek dan perencana kota. Dilain pihak, di Jakarta masalah penyandang cacat belum terjamah secara maksimal oleh pihak yang mempunyai banyak peranan dalam perencanaan accessible environment.

Dari studi kasus di beberapa Negara maju, Singapura merupakan contoh paling dekat dengan Negara kita. Kebutuhan trotoar bagi pejalan kaki, kebutuhan dominant di negeri jiran tersebut. Namun lain halnya dengan Jakarta, yang rasanya masih memerlukan perhatian lebih mendalam. Seakan-akan kebutuhan ruang terbuka masih sangat memberatkan bagi beberapa pihak. Entah karena mahal dan terbatasnya lahan kota Jakarta, atau karena perencana kotasana. belum berpikir jauh ke arah

Seharusnya kebutuhan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi para pejalan kaki, namun dapat diakses oleh penyandang cacat tubuh. Lingkungan seperti inilah yang dikenal sebagai accessible environment. Bagaimana di kawasan Segitiga Emas? Rasa-rasanya belum terjamah konsep itu. Kenapa? Bisa jadi diasumsikan seluruh penduduk Jakarta menggunakan kendaraan pribadi. Sementara dalam konsep accessible environment, persoalan mendasar yang dapat diberikan bagi para disabled people adalah penyediaan pedestrian yang dapat diakses pasien yang duduk di kursi roda dan juga para tuna netra. Tentu saja hal ini akan memerlukan treatment khusus dan juga disain yang spesifik dalam perancangan pedestrian.

Hal lain yang dapat diberikan untuk disabled people adalah dengan diciptakannya lingkungan perumahan maupun perkantoran dan pusat perbelanjaan yang khusus untuk berbelanja bagi para penyandang cacat. Hal ini sudah banyak dilakukan di beberapa Negara maju. Namun rasanya masih sulit bila diterapkan di Jakarta. Konsep itu dikenal dengan shopmobility, yang didasari pada pengelompokan fungsi sebuah area perbelanjaan pada daerah terbuka, dimana disediakan area parkir dan penyewaan kursi roda bagi para penyandang cacat.

Sudah seharusnya, pemerintah Indonesia memikirkan pemenuhan kebutuhan bagi para penyandang cacat. Di Inggris, contohnya telah ditetapkan beberapa kebijakan mengenai masalah disability dan planning, seperti berlakunya Disability Discrimination Act (DDA), Code of Practice mengenai Access for Disabled People (RTPI: 1988) dan Rights Commission. Dari berbagai peraturan yang dikeluarkan tersebut, pemerintah menyediakan sebuah pusat informasi yang berkaitan dengan disability dan planning yang disebut Centre or Accessible Environment.

Di Jepang, penyediaan pedestrian juga dilengkapi dengan special track untuk tuna netra. Bahkan di dalam bangunan disediakan pula fasilitas khusus. Selain itu, pemerintah Jepang memberikan fasilitas bagi penyandang cacat tubuh tersebut, diantaranya telepon umum dan elevator atau lift dengan menggunakan raised character atau huruf Braille.

Berdasarkan kondisi dari penyandang cacat di Inggris khususnya dan seluruh Negara di dunia umumnya, sesungguhnya banyak sekali pemecahan masalah dalam penyediaan fasilitas alternative bagi para penyandang cacat. Seperti fasilitas umum, pendidikan atau masalah tenaga kerja. Dalam kaitan untuk peningkatan dan penyediaan fasilitas umum, maupun pribadi, bagi para penyandang cacat, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait seperti arsitek, perencana, pengontrol bangunan dan juga politisi merupakan pihak yang seharusnya mempunyai peranan yang paling berarti.

Kiranya banyak hal positif dari pemaparan tersebut yang dapat diterapkan di Jakarta, khususnya di kawasan Segitiga Emas. Karena kami sebagai arsitek maupun perencana, tidak harus memikirkan hal yang baru, karena semua contoh sudah tersebar di beberapa Negara maju.