Tuesday, November 21, 2006

Jurnal KULTUM 2006 >> Upgrading

UPGRADING SEBAGAI SEBUAH KEBIJAKAN PENINGKATAN

KUALITAS LINGKUNGAN

Ari Widyati Purwantiasning

Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta

arwityas@yahoo.com

ABSTRACT

This research will explore about upgrading as a policy to improve the quality of built environment particularly within slum and squatter areas. The discussion will touch on upgrading as a policy, the budgeting of the upgrading project, the security of tenure, the allocation of land use, the support of informal sector, the standard of physical development, and the role distribution of stakeholders.

The slum and squatter areas had been formed from illegal settlements which consist migrant from suburban areas to urban areas. This condition becomes a burden for urban areas such as Jakarta. Actually, there are two main problem solutions to be delivered by government. They are slum clearance and upgrading policy. Slum clearance is to relocate slum area from origin place to new areas within suburban. But from the evaluation of the program, slum clearance had been regarded as an ineffective solution for this problem. This condition had encouraged government to deliver new problem solution which is known as upgrading.

  1. PENDAHULUAN

Urbanisasi adalah proses perubahan masyarakat dan kawasan dalam satu wilayah yang non urban menjadi urban. Pertumbuhan urban yang cepat menyebabkan kebutuhan amenities, urban services, kebutuhan perumahan, air, listrik, transportasi dan pelayanan sosial menjadi semakin bertambah.

Pertumbuhan urban yang cepat dan tidak terkontrol sedangkan fasilitas pelayanan masyarakat (urban services) yang tidak memadai akan menimbulkan permukiman slum dan squatter. Kondisi slum dan squatter ditandai dengan keterbatasan akses menuju urban services, misalnya saluran air bersih, saluran pembuangan, rumah dan lain-lain yang justru merupakan elemen penting dalam pembangunan perumahan.

Usaha awal untuk menghadapi problem yang ditimbulkan oleh slum dan squatter dapat ditempuh dalam dua cara. Cara pertama adalah slum clearance, yaitu relokasi slum dari tempat asalnya (yang lama) ke daerah baru di pingghiran kota yang jauh dari pusat kota. Cara ini ternyata tidak efektif karena seringkali daerah baru tersebut belum memiliki kelengkapan sarana dan prasaran (infrastruktur, fasilitas transportasi, dsb) yang memadai sehingga banyak masyarakat slum yang kembali membuat slum yang baru di tengah kota. Cara yang kedua adalah upgrading, yaitu melakukan peningkatan kualitas lingkungan dengan cara menyediakan dan melengkapi sarana infrastruktur.

  1. UPGRADING SEBAGAI SUATU KEBIJAKAN

Upgrading merupakan kebijakan yang muncul sebagai kelanjutan dari Enabling Strategy. Enabling Strategy ini merupakan prinsip dari Global Strategy To The Year 2000, yang berlatar belakang masalah pengadaan perumahan bagi seluruh masyarakat terutama masyarakat miskin.

Enabling Strategy timbul karena pemerintah negara berkembang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Strategi pengadaan perumahan yang sebelumnya bersifat provider bergeser menjadi enabler, dimana pemerintah mendukung dan membantu keterlibatan pihak lain terutama pemakai dalam penyediaan perumahan.

Upgrading dilakukan untuk menghadapi problem yang ditimbulkan oleh permukiman slum dan squatter yang diketahui sebagai akibat tipikal dari ketidakmampuan pemerintah untuk mengontrol dan mengarahkan/ membimbing pembangunan urban. Tujuannya adalah untuk merangsang pembangunan perumahan dengan menyediakan sarana pelayanan (urban services) dan bukan mengerjakan pembangunan unit-unit perumahan yang sesungguhnya. Pendekatan itu didasarkan pada anggapan bahwa dengan penyediaan sarana tersebut, penduduk akan terdorong untuk membangun tempat tinggalnya yang pantas.

Upgrading dianggap menawarkan pemecahan yang layak terhadap problem perumahan , dengan alasan:

1. Beban dana masyarakat dapat lebih kecil bila dibandingkan dengan public housing dan relokasi, yaitu jika program upgrading ini didesain dengan menggunakan prinsip-prinsip keterjangkauan dan partisipasi masyarakat

2. Adanya security of tenure, akses kredit dan partisipasi masyarakat dalam simpanan/ tabungan serta pengerahan tenaga kerja dalam kegiatan upgrading

3. Adanya alasan politis dan praktis

4. Memungkinkan aktivitas sektor informal yang sesuai sifatnya (ketergantungan komunitas dan lokasi, dsb) bila dibandingkan dengan relokasi yang akan menggeser mereka dari mata pencahariannya dan ketidakmungkinan mereka untuk tinggal dalam public housing maupun apartemen.

Penerapan upgrading adalah keterlibatan masyarakat tidak hanya membangun bangunan tetapi juga dalam pembiayaan dan manajemen pembangunan. Upgrading membutuhkan usaha terkoordinasi dari semua sektor baik dalam perencanaan dan proses implementasi (pelaksanaan) pembangunan urban yang terintegrasi.

  1. PEMBIAYAAN, KETERJANGKAUAN DAN PEMULIHAN BIAYA

Program upgrading ini dilaksanakan dengan dana yang berasal dari pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dana pemerintah untuk menyediakan perumahan secara konvensional bagi masyarakat slum dan squatter dibandingkan dengan perbaikan kualitas lingkungan. Biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan upgrading ini relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan cara konvensional. Selain itu, kondisi masyarakat itu sendiri tidak akan mampu untuk membeli rumah yang disediakan secara konvensional oleh pemerintah.

Pengembalian pinjaman dana untuk pembiayaan upgrading dilakukan dengan 3 cara:

1. Pembayaran langsung dari penghuni (dapat berupa harga beli, pembayaran sewa dan pajak-pajak perbaikan)

2. Dengan biaya tambahan pada sambungan utilitas dan fee konsumsi untuk air, listrik, dan saluran/ sistem pembuangan

3. Dari pajak penghasilan penduduk urban, seperti pengumpulan pajak properti yang juga memungkinkan terjadinya subsidi silang antara grup dengan penghasilan yang beragam

  1. SECURITY OF TENURE DAN ALOKASI TANAH

Keberhasilan proyek upgrading biasanya ditentukan dengan adanya security of tenure, yang dapat menghilangkan ketakutan masyarakat akan penggusuran dan mendorong partisipasi masyarakat berkenaan dengan kontribusi finansial dan tenaga kerja dalam melaksanakan upgrading.

Dalam menyusun kebijaksanaan upgrading, pemerintah menghadapi dua masalah:

1. Upgrading akan meningkatkan nilai tanah yang otomatis akan mempengaruhi peningkatan harga sewa yang harus dibayar oleh penghuni. Kemampuan membayar sewa tinggi ini hanya dapat dipenuhi oleh keluarga dengan income yang lebih tinggi, akibatnya permukiman akan ditempati oleh grup dengan income yang tinggi ini. Pemilik asli lebih tertarik untuk menjual tanahnya agar mendapatkan keuntungan, sehingga sasaran upgrading sesungguhnya tidak tercapai.

2. Perubahan penguasaan tanah dari illegal ke sah akan mendorong squatting lebih jauh dan memacu migrasi ke kota

Penghibahan kepemilikan ini seringkali tidak berhasil. Karena itu sebelum program dijalankan, pemerintah harus menetapkan sistem kepemilikannya (sewa). Pemerintah pun bertanggung jawab untuk memperoleh tanah sebelumnya untuk menghindari perjanjian yang sulit dengan landowner.

  1. DUKUNGAN TERHADAP SEKTOR INFORMAL

Kebanyakan program upgrading yang dilakukan adalah perbaikan kondisi fisik dari lingkungan kampung. Pada dasarnya kondisi fisik yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga (unit-unit keluarga), sehingga dampak dari program upgrading akan tergantung pada perbaikan kondisi sosial ekonomi rumah tangga, khususnya mengatasi kemiskinan dan ketidakmampuan ekonomi.

Kebanyakan penghuni daerah slum dan squatter bekerja pada sektor informal yang memiliki jam-jam kerja panjang yang ditentukan sendiri untuk mendapatkan upah yang mungkin minimum. Oleh karena itu pemerintah perlu membantu sektor informal dalam upaya meningkatkan kondisi sosial ekonominya.

Usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan mengurangi peraturan yang dapat menghambat/ membatasi aktivitas sektor informal, memberikan bantuan kredit dan teknis, mendorong tumbuhnya koperasi pengrajin dengan memberikan fasilitas bahan mentah dan mambantu memasarkan produk. Pemerintah juga memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang menggunakan teknologi sederhana untuk membuat pipa-pipa beton dan material lain yang nantinya akan digunakan dalam program upgrading.

  1. STANDAR PEMBANGUNAN FISIK

Rehabilitasi permukiman slum dan squatter harus sesuai dengan kemampuan ekonomi penghuninya, sehingga standar pembangunan fisik dan peraturan-peraturan bangunan yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan kondisi mereka. Tidak mungkin untuk menetapkan standar pembangunan fisik dan peraturan-peraturan bangunan yang mengkhususkan material dan dimensi sedangkan mereka tidak mampu menjangkaunya.

  1. DISTRIBUSI PERAN ANTAR AKTOR

Aktor-aktor yang terlibat dana berperan dalam program upgrading dapat dilihat pada tabel berikut. Dari tabel di bawah terlihat bahwa peran pemerintah dan masyarakat diusahakan sebanding dengan melihat kemampuan dan kondisi setempat.


Partisipasi masyarakat dalam merumuskan proses pembangunan didasarkan pada keyakinan bahwa penghuni harus dilibatkan dalam membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Alasannya adalah bahwa:

1. Pada umumnya hasil upgrading akan lebih sukses jika orang-orang yang tinggal dalam daerah yang di upgrade (beneficiaries) ikut serta dalam memutuskan tata letak tapak, akses jalan, lokasi pipa-pipa, tipe-tipe fasilitas komunitas, dsb. Hal ini akan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek ini kemudian dan mempertahankan komunitas yang telah di upgrade

2. Partisipasi masyarakat dalam semua tahap dari program ini akan memperngaruhi perencana, administrator dan politikus yang terlibat dalam program ini untuk membangun persepsi dan mengetahui kebutuhan masyarakat

3. Partisipasi masyarakat akan membangun kepercayaan dan semangat komunitas, serta mendorong mereka untuk berperan aktif dalam perbaikan kondisi kehidupan mereka.

Ada 3 model tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan:

1. menunjuk wakil sebagai penasehat dan pengatur

2. hanya terbatas untuk konsultasi dalam perencanaan

3. sweat equity (partisipasi sebagai tenaga kerja untuk konstruksi rumah dan infrastruktur)

Partisipasi masyarkaat ini hanya dapat ditentukan melalui dialog dengan masyarakat setempat karena tidak semua mau/ dapat terlibat secara penuh.

  1. KESIMPULAN

Upgrading sebagai kebijakan merupakan salah satu program dalam pengadaan perumahan bagi masyarakat terutama bagi kaum miskin. Program upgrading yang berdasarkan enabling strategy ini secara lokal mempunyai arah:

1. kredit dan suplai bahan bangunan

2. jaminan akan kepemilikan (security of tenure)

3. perluasan jaringan infrastruktur

Proyek yang muncul dari kebijakan upgrading mempunyai dampak luas dari fisik, sosial ekonomi dan organisasi. Keberhasilan program upgrading ditentukan oleh usaha mengkoordinasi/ menggerakkan semua sumber dan aktor dalam produksi dan perbaikan lingkungan hunian dalam perencanaan dan pelaksanaan.

DAFTAR PUSTAKA

Hardjakusumah, OS. Kampung Improvement Programme (Disertasi). London. 1978.

Pemerintah Daerah DKI. Perbaikan Perkampungan. Dua Tahun Dalam

Perkembangan. Jakarta. 1976.

Pemerintah Daerah DKI. Jakarta’s Kampung Improvement Programme, in The

Context of City Settlement Problem. Edisi 2. Jakarta. 1976

Silas, J. Permukiman Kumuh di Jakarta. Masyarakat Jurnal Sosiologi Perencanaan

Sosial dalam Pengembangan Kota. Jilid 2. PT Gramedia PU. Jakarta. 1993.

Skinner, reinhard J, John L Taylor and Emiel A Wegelin. Shelter upgrading for the

Urban Poor. Island Publishing House Inc. 1987.

--. Survey of Slum and Squatter Settlements.

Sunday, October 29, 2006

non published 03- 2006 >> Ruang Publik

Ruang Terbuka: Elemen Arsitektur Kota sebagai Wadah Berinteraksi

Teks dan Foto: Ari Widyati Purwantiasning
Arsitek & Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta

Kebutuhan akan ruang terbuka merupakan satu hal signifikan yang harus diutamakan keberadaannya dalam sebuah perencanaan kota apalagi dalam penataannya. Idealnya, ruang terbuka yang harus dimiliki oleh sebuah wilayah perkotaan adalah sebesar sepertiga dari total luas wilayahnya. Sementara itu tujuh persen dari luas ruang terbuka tersebut harus diperuntukkan sebagai taman kota atau taman lokal. Fasiltas terbuka tersebut memang merupakan ruang publik terbuka yang disediakan bagi segala kegiatan interaksi masyarakat tanpa melihat adanya perbedaan hirarki baik tingkat sosial, pendidikan maupun tingkat ekonomi diantara mereka.

Paul Zucker ahli perkotaan, memberikan gambaran yang cukup gamblang tentang sejarah dan estetika ruang kosong yang terbentuk secara artistik, yang menemukan bentuknya dalam ruang terbuka kota atau dikenal dengan town square. Menurutnya ruang terbuka yang asli baru dikembangkan di kota-kota Yunani setelah abad 500 Sebelum Masehi. Selang berabad-abad lamanya perkembangan ruang terbuka mengalami pasang surut. Pada abad ke-15 Masehi seiring dengan lahirnya jaman Renaissance, arsitek dan seniman kenamaan dunia seperti Michaelangelo, Mansart, Christopher Wren dan banyak lagi arsitek kenamaan dunia menjadi pendorong berkembangnya konsep-konsep ruang terbuka pada perkotaan. Konsep ruang terbuka tersebut diterapkan pada perencanaan dan perancangan kota-kota di Barat, dan mencapai puncaknya pada jaman Baroque sekitar abad ke-17 dan ke-18 Masehi. Konsep ruang terbuka terus berkembang dan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman hingga saat ini.

Saat ini jika berbicara tentang open space atau yang disebut masyarakat ruang publik, yang terlintas di pikiran adalah taman kota yang dipenuhi oleh pohon-pohon pelindung. Ruang yang berkesan nyaman yang juga digunakan untuk duduk-duduk atau jalan-jalan santai. Tetapi ada juga yang memiliki pemahaman akan ruang publik sebagai ruang kosong tanpa apa pun, sementara terbuka diartikan sebagai tempat masyarakat sekitarnya bebas beraktifitas di dalamnya.

Hamid Shirvani menyatakan bahwa ruang terbuka merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan arsitektur kota. Kota memerlukan ruang-ruang publik tempat warga kota berinteraksi, mencari hiburan atau melakukan kegiatan yang bersifat rekreatif.

Tempat-tempat yang bisa dikategorikan sebagai ruang publik kota adalah taman kota atau taman lokal, plaza (termasuk lapangan atau alun-alun) serta pedestrian yang memungkinkan terjadinya arus pejalan kaki dalam jumlah besar. Belakangan seiring dengan perkembangan kota, muncul ruang publik kota yang terbentuk dari kehadiran bangunan-bangunan yaitu ruang diantara bangunan (space between buildings).

Ruang publik merupakan keharusan dalam sebuah kota. Kota-kota klasik menggunakan ruang terbuka kota sebagai tempat masyarakat bertemu, berkumpul dan berinteraksi baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan maupun membangun pemerintahan. Pada kota-kota tua yang berstandar pada agama, ruang publik untuk ritual dibedakan dengan ruang kota secara umum. Sementara kota-kota yang berkembang kemudian, disamping fungsi tradisionalnya sebagai tempat pertemuan, ruang publik juga digunakan sebagai identitas dan tanda pengenal dari sebuah kota. Tidak heran bila banyak kota yang memanfaatkan ruang terbuka publik sebagai simbol sekaligus sebagai pusat interaksi sosialnya. Ruang terbuka publik berfungsi sebagai tempat pertemuan antara individu dengan masyarakat sekitarnya, antara pemerintah dengan warga, antara penduduk lokal dengan pendatang. Semua peristiwa interaksi tersebut menjadi jiwa sebuah kota yang mampu mengakrabkan antar komunitas.

Perkembangan kota-kota modern makin memperluas fungsi dan peranan ruang terbuka publik. Ruang terbuka publik ditafsirkan sebagai tempat yang memungkinkan setiap warga tanpa diskriminasi dapat berinteraksi dan bertemu dengan kesederajatan dan yang lebih penting memiliki akses untuk menggunakannya.

Ruang terbuka publik adalah ruang yang tidak terbangun di dalam kota yang berfungsi meningkatkan kualitas estetika, lingkungan serta kesejahteraan warganya. Kemudahan akses masuk adalah menjadi salah satu ciri dari ruang terbuka publik karena ruang ini merupakan fasilitas milik umum sehingga siapa saja boleh memasukinya. Secara singkat adalah kesetaraan tanpa diskriminasi.

Pada dasarnya ruang terbuka publik berfungsi sebagai fungsi kultural, sosial dan ekonomi bagi komunitas di dalamnya yaitu sebagai tempat interaksi dan rekreasi; sebagai simbol dan identitas sebuah kota; sebagai lingkungan yang berfungsi untuk melindungi ekologis kawasan; sebagai kawasan cadangan bagi pengembangan masa mendatang dan sebagai tempat yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat berjual pedagang kaki lima atau pasar kaget sehingga lebih terlokalisir.


Saturday, October 28, 2006

non published 02- 2006 >> Madrid

Menelusuri Sejarah Arsitektur Madrid

Teks dan Foto: Ari Widyati Purwantiasning
Arsitek &
Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pernah terpikirkan sebelumnya bahwa sebuah kota pastinya mempunyai mitos sejarah asli. Begitu juga dengan kota Madrid yang tepatnya pada Mei 1561 diakui oleh Philip II sebagai ibukota negara Spanyol. Sejak lampau dipercaya bahwa Madrid ditemukan oleh Ocnus, Raja Roman yang juga merupakan salah satu anak dewa. Dahulunya Madrid dinamakan Mantua (dalam bahasa Yunani), namun beberapa leluhur mempercayai bahwa Madrid sejak dulu disebut Ursa (artinya beruang dalam bahasa Latin). Hal ini dikarenakan banyaknya beruang yang berkeliaran di sekeliling pegunungan dengan pepohonan Madrona. Pada akhirnya kedua hal tersebut menjadi simbol kota sejak jaman pertengahan.

Sejarah Kota

Bagaimanapun, penelusuran sejarah munculnya Madrid akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa nama kota ini lahir dari seorang kaum Moorish yang menemukan daerah Madrid untuk pertama kalinya. Saat pertama ia menjajagi daerah ini, kota ini disebut macher-it (sumber air yang tidak pernah habis), hal ini dihubungkan dengan adanya mata air yang mengairi irigasi pertanian di daerah tersebut. Namun setelah masuknya agama Kristian, nama tersebut teradaptasi menjadi Magerit yang kemudian bertransformasi menjadi Madrit dan Madrid.

Sejak tahun 1085, Madrid telah berubah menjadi area dan kota yang dipengaruhi Kristian. Seluruh aktifitas komersialpun meningkat dengan pesat, yang akhirnya pada abad 14 Madrid telah membuktikan perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya beberapa pasar permanen sebagai pusat aktifitas komersial.

Beranjak dari perkembangan aktifitas perekonomian kota itulah, Madrid mulai berkembang sangat pesat. Dari mulai menggandanya jumlah penduduk dengan sangat signifikan, munculnya kantong-kantong perumahan dan permukiman baru bagi masyarakat sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk. Sampai pada akhirnya terbentuk dengan sendirinya sebuah pusat kota Madrid.

Kota Borjuis

Abad 19 dimulai dengan adanya invasi bangsa Perancis ke beberapa negara di Eropa termasuk Madrid. Hal ini menyebabkan sepertiga dari kegiatan perkembangan kota Madrid terpaksa terhenti. Para kaum borjuis mulai ikut andil dalam perkembangan kota Madrid. Mereka mulai mengambil alih beberapa properti dan mengembangkannya sesuai keinginan mereka.

Namun di lain pihak, kejadian tersebut justru menguntungkan kota Madrid dalam hal perkembangan kota. Banyak jalur dan jalan-jalan baru mulai dibangun, sebagai fasilitas umum. Selain itu alun-alun di beberapa titik kota juga dibangun sesuai perencanaan kota diimbangi dengan penyediaan perumahan, bangunan-bangunan fasilitas umum untuk mencapai kebutuhan penduduk yang terus berkembang. Bangunan fasilitas umum tersebut diantaranya adalah bangunan the Congress, the Senate House, the Stock Exchange, the National Library, the Bank of Spain, yang kesemuanya terdapat di pusat kota Madrid dan dimaksudkan untuk mendukung aktifitas kota sehari-hari.

Dalam abad yang sama tepatnya tahun 1860, the Castro Plan yang merupakan dinding tua di Madrid yang dibangun Philip IV, dihancurkan. Hal inilah yang membawa Madrid sehingga dikenal dengan 3 daerah lingkupan, yaitu kota tuanya, perkembangan baru, dan daerah pinggirannya.

Dari keseluruhan perkembangan kota Madrid dalam abad 19, dapat ditelusuri bahwa pembentukan kota secara menyeluruh dan pembangunan istana-istana di lingkungan pusat kota dilaksanakan oleh kaum borjuis yang datang ke Madrid. Bentuk-bentuk arsitektural yang disajikan merupakan bentuk ekletik yang mengutamakan citra dan rasa individual para pendatang tersebut. Sebagai contoh di dalam distrik baru yaitu Salamanca dan Arguelles dimana pengembangannya dilaksanakan oleh Salamanda dan Pozas, serta distrik-distrik di daerah Las Salesas, Los Jeronimos dan Recoletas, dimana para kaum borjuis di Madrid menemukan untuk pertama kalinya daerah permukiman bagi mereka. Mulai dari daerah inilah berkembang masyarakat menengah ke atas dimana mereka tergolong kelas pekerja yang lingkungannya hanya mencakup daerah tempat tinggal mereka dan pusat kota Madrid. Sementara itu agak menepi, terdapat daerah permukiman masyarakat menengah bawah yang juga tergolong masyarakat miskin. Di daerah ini hunian merupakan tipikal corralas, yaitu hunian yang mengelilingi sebuah patio atau halaman kecil.


Perkembangan setelah invasi

Awal abad 20, Madrid sudah berkembang sangat pesat dengan penduduk mencapat 950.000 orang pada tahun 1930. Sejak saat itu, pemerintah kota mengumumkan sebuah sayembara internasional untuk mencari proyek yang dapat mengontrol pertumbuhan ini. Sayembara ini dimaksudkan agar ada keluaran mengenai perencanaan kota Madrid yang sesuai dengan perkembangannya menuju ke arah Utara kota.

Saat tahun 1960, ketika penduduk Madrid sudak mencapat 2 juta orang, dengan perencanaan stabilisasi, Madrid memasuki periode perkembangan yang dimaksudkan untuk membuat kota tidak dapat dijamah oleh kendaraan. Jalur bulevard dihilangkan, flyovers dan parkir kendaraan bawah tanah mulai dibangun dibeberapa titik pusat kota.

Sampai akhirnya, pada dekade berikutnya, karakter kota berubah dengan menjadikan Madrid lebih layak huni bagi penduduknya. Daerah-daerah distrik mulai dikenalkan, rencana khusus yang bertujuan untuk melindungi warisan arsitektur kota digulirkan, sirkulasi kendaraan di pusat kota dibatasi dan transportasi umum ditingkatkan.

Aplikasi dari perkembangan kota Madrid ini nyatanya berhasil dan menjadikannya kota paling indah dan nyaman untuk dikunjungi di negara Eropa. Dimana telusuran arsitektur bersejarah kota dengan jalan-jalan baru dan modern avenue tersajikan secara harmonis. Saat tiba pertama kali di pusat kota Madrid, kesan pertama yang akan diterima pengunjung adalah bahwa kota ini penuh kesibukan dan aktifitas. Namun tidak dapat ditinggalkan disini bahwa pengalaman yang sangat menakjubkan dari kota Madrid adalah dengan memiliki kesempatan menelusuri sepanjang jalan pusat kota Madrid, dengan monumen-monumennya, istana-istananya dan juga kehidupan malamnya yang juga menarik untuk dijamah.

Wednesday, October 25, 2006

non published 01- 2006 >> fotografi arsitektur

Fotografi Arsitektur sebagai Sarana Komunikasi

Teks dan Foto: Ari Widyati Purwantiasning
Arsitek & Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta

Setiap manusia membutuhkan komunikasi untuk menyampaikan pesan maupun berita dalam bahasa sehari-hari. Perkembangan komunikasi sangat nyata terlihat sesuai dengan perkembangan teknologi. Pada jaman dahulu, manusia hanya perlu menggunakan bahasa insyarat sebagai penyampaian pesan. Kemudian dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, ditemukanlah abjad yang kemudian tersusun menjadi kata-kata dan kalimat. Seiring dengan waktu, maka komunikasi antara pemberi pesan dan penerimanya juga difasilitasi dengan berbagai alat sebagai sarana dan media dalam penyampaian pesan.

Komunikasi dengan menggunakan alat sebagai sarana penyampaian pesan tersebut dikenal juga sebagai komunikasi media. Selama berlangsungnya proses komunikasi media tersebut terdapat beberapa teknik dan metode yang digunakan oleh seorang komunikator atau penyampai pesan sesuai dengan tujuan diadakannya komunikasi tersebut.

Di dalam bidang arsitektur, berbagai metode dan teknik digunakan dalam usaha untuk menyampaikan pesan seorang arsitek kepada kliennya sehingga kedua belah pihak menemukan titik temunya.

Pesan yang disampaikan oleh arsitek tersebut adalah berupa ide-ide dan gagasan karya arsitektural yang telah dihasilkan oleh si arsitek. Sehingga segala keinginan dan kebutuhan sang klien dapat terpenuhi dan gagasan serta ide arsitek juga dapat diterima setelah keduanya mencapai kata sepakat dalam bernegosiasi.

Di dalam komunikasi arsitektur, dikenal berbagai media yang dapat digunakan sebagai alat penyampaian ide-ide dan gagasan si arsitek. Beberapa media tersebut diantaranya adalah gambar hasil penuangan ide-ide dan gagasan tersebut baik berupa sketsa kasar maupun gambar kerja, gambar-gambar visualisasi dari disain dalam bentuk tiga dimensi baik sketsa perspektif maupun dengan menggunakan teknologi komputer, dan visualisasi dalam bentuk fotografi.

Biasanya fotografi arsitektur digunakan untuk menampilkan sebuah image dan karya besar arsitektural dari perancang sebagai bahan studi banding maupun referensi. Di dalam proses komunikasi arsitektur itu sendiri dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai imaginasi dimana didalamnya melibatkan mata, benak atau pikiran dan juga tangan. Ketiganya akan bergabung dalam menciptakan suatu jaringan proses dan menghasilkan gagasan-gagasan yang belum ada dalam pikiran kita. Di dalam penuangan gagasan-gagasan inilah, fotografi arsitektur berperan banyak dalam proses komunikasi baik komunikasi di dalam diri si arsitek sendiri maupun komunikasi antara arsitek dengan si klien.

Pengertian dari istilah fotografi arsitektur itu sendiri ternyata cukup kompleks. Kriteria yang baku agaknya terlalu sulit diterapkan. Hasil fotografi dapat berarti arsitektur tetapi dalam konteks dan situasi yang berbeda dapat berarti lain. Pendekatan yang paling mengena adalah jika fotografer membuat dokumentasi dari suatu obyek interior atau eksterior dari hasil karya seorang arsitek, maka hasil fotonya akan merupakan fotografi arsitektur.

Estetika dari hasil fotografi tersebut tidaklah terlalu penting, tetapi kejelasan dari hasil rancangan yang tercatat itu lebih penting. Keahlian fotografer dalam mengabadikan hasil karya arsitektur terlihat dari hasil yang bukan sekedar suatu dokumentasi. Bila memungkinkan justru detail-detail dari ide-ide dan gagasan si arsitek tentunya harus dapat terbaca melalui hasil bidikan fotografer.

Fotografi arsitektur merupakan hasil karya dokumentasi yang dapat menampilkan tidak hanya kepentingan dokumentasi namun juga estetika dalam hal arsitektural, seni, ekspresi, komunikasi, etika, imaginasi, abstraksi, realita, emosi, harmoni, drama, waktu dan kejujuran serta dimensi yang tersirat.

Sama seperti halnya fotografi biasa, fotografi arsitektur juga mengenal pencahayaan dan komposisi. Fotografi itu pada dasarnya melukis dengan cahaya, baik cahaya alami maupun cahaya buatan. Terkadang kita perlu menambahkan filter lensa agar hasilnya lebih dramatis atau juga menggunakan perspective correction supaya bangunan tetap terlihat tegak lurus. Dengan adanya media fotografi arsitektur inilah maka, ide-ide dan gagasan sebuah karya arsitektural dapat dikomunikasikan. Secara dramatikal, sebuah fotografi arsitektur dapat berbicara banyak dalam mengkomunikasikan gagasan arsitek yang tertuang di dalamnya.

Thursday, September 21, 2006

Jurnal KALANG 2006 >> Konservasi di Bali

PENGENALAN KONSEP KONSERVASI ARSITEKTUR BALI
DI TENGANAN PEGERINGSINGAN

Ir. Ari Widyati Purwantiasning, MATRP
Jabatan Akademik: Asisten Ahli
Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Email: arwityas@yahoo.com, kajur.arsitek@ft.umj.ac.id
Jl. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta 10510



ABSTRACT This paper will explore Tenganan Pegeringsingan as one of a few ‘old’ villages in Bali – which called as Bali Aga Village. Tenganan is one of ‘old’ villages which still has original culture and tradition. As an old village, Tenganan become one of tourism object attraction in Bali for long time since Bali become tourism island in Indonesia. The uniqueness of built form, house pattern, village pattern, community’s life pattern and their strong tradition become an attractive values for tourists from other countries to visit this village.
Bali Architecture generally and Tenganan in particular has their own unique character which does not have by other places. Traditional architecture in this village is very sensitive with changes by external factors both directly and indirectly. This paper will deliver the implementation of conservation concept within Tenganan Pegeringsingan which has been protected for years from outsider.

ABSTRAK Tulisan ini akan mengeksplor Desa Tenganan Pegeringsingan sebagai satu dari beberapa desa di Bali yang disebut sebagai Desa Bali Aga. Tenganan adalah satu dari desa-desa kuno di Bali yang mempunyai budaya dan tradisi yang masih murni. Sebagai Desa Kuno, Tenganan menjadi satu dari obyek atraksi turis di Bali lama sejak Bali menjadi pulau turis di Indonesia. Keunikan bentuk bangunan, pola hunian, pola desa, pola kehidupan masyarakanya serta tradisi kuat mereka menjadi nilai-nilai yang atraktif bagi turis untuk berkunjung ke Desa ini.
Arsitektur Bali umumnya dan Tenganan khususnya, mempunyai karakter unik tersendiri yang tidak dapat ditemui di tempat lain. Arsitektur tradisional di desa ini sangat sensitif dengan perubahan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal baik secara langsung maupun tidak langsung. Di dalam tulisan ini akan dipaparkan implementasi dari konsep konservasi di Tenganan Pegeringsingan yang telah menutup diri sejak tahunan dari dunia dan masyarakat luar.

A. PENDAHULUAN
Di Bali, lingkungan binaan tradisional, yang didasari oleh prinsip-prinsip arsitektural kuno berakar pada kepercayaan agama, relatif tidak berubah dalam beberapa dekade. Sampai saat ini karakter tradisional Bali dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari masih dirasa tidak berubah. Walaupun begitu, masih saja banyak berbagai kekuatan yang berusaha untuk mempengaruhi lingkungan tradisional Bali, yang muncul dalam intrik-intrik dan pengaruh di dalam kehidupan tradisional masyarakat Bali.

Di Bali sendiri terdapat banyak desa-desa yang masih dianggap asli dalam menyelenggarakan kehidupan tradisionalnya tanpa pernah ada pengaruh-pengaruh luar yang diperbolehkan untuk masuk dan merubah secara sedikit demi sedikit tradisi mereka. Ada beberapa desa yang memang sangat ketat dalam pelarangan masuknya budaya luar yang dianggap dapat merusak kehidupan tradisional masyarakatnya. Tentu saja hal ini membedakan pada individu manusianya dan juga budayanya yang secara keseluruhan berbeda. Biasanya orang Bali menyebutnya sebagai Bali Aga atau Bali Kuno atau Bali Tua.

Bali Aga dapat ditampilkan sebagai sebuah identitas dari tradisi asli Bali dan budaya yang muncul dari masa lampau sampai saat ini. Di Bali, beberapa desa tua yang disebut Bali Aga diantaranya adalah Desa Tenganan Pegeringsingan, Desa Trunyan, Desa Sembiran, Desa Taor, Desa Salulung, Desa Barukaang, Desa Penglipuran dan Desa Catur (Covarrubias, 1946: 1). Sementara tiga desa yang dianggap cukup mewakili kehidupan tradisional di Bali sebagai Bali Aga adalah Desa Trunyan, Desa Penglipuran dan Desa Tenganan.

Dalam penelitian ini, Desa Tenganan Pegeringsingan terpilih sebagai studi kasus dimana Desa ini merupakan Desa yang terpilih sebagai Area Konservasi dan dianggap sebagai Desa yang masih murni dan asli dalam hal budaya dan tradisinya. Desa Tenganan Pegeringsingan dianggap sebagai Bali Aga yang paling konservatif dalam mempertahankan tradisi-tradisi kunonya dengan komitmen yang tinggi dari para leluhur maupun masyarakat keturunannya saat ini.

Ide dari konservasi itu sendiri berkembang di Bali selama beberapa tahun ini dengan menunjuk beberapa daerah yang dianggap mempunyai nilai historical dan desa-desa tua sebagai Area Konservasi. Bali secara tradisional dikenal sebagai Pulau Dewata yang mempunyai nilai historis dan dapat meningkatkan pengalaman ruang bagi para turis-turis domestik maupun internasional yang berkunjung di Pulau Bali ini.

B. DISKRIPSI DESA TENGANAN PEGERINGSINGAN
Tenganan Pegeringsingan adalah salah satu dari banyak desa-desa kuno di Bali, yang dikenal sebagai Desa Bali Aga. Bali Aga itu sendiri sudah hidup di Bali jauh sejak sebelum kedatangan masyarakat Hindu Jawa yang mungkin dapat memberikan sedikit banyak pengaruh dan bentuk baru pada budaya Bali modern.

Desa Tenganan adalah salah satu desa kuno yang masih memiliki budaya dam tradisi asli. Tenganan sudah dilindungi sejak berabad-abad dari dunia luar dengan dinding-dinding yang mengelilingi desa tersebut. Desa Tenganan terletak di Bali Timur antara Klungkung dan permukiman Karangasem, sekitar 18 km dari kota Amlapura dan 66km sebelah Timur ibukota Bali Denpasar (lihat gambar 1). Pada tahun 1997 Tenganan memiliki sekitar 300 penghuni. Tepatnya Desa Tenganan terletak di Perumahan Distrik Karangasem (lihat gambar 2). Desa ini hanya dapat dicapai melalui satu akses jalan untuk kendaraan bermotor, dicapai dari jalan utama Klungkung-Karangasem atau dari Pantai Candi Dasa (pura tua di dalam area). Karangasem sendiri kaya akan ragam aturan kuno yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Hal ini dapat ditemukan di dalam desa-desa yang mendapat pengaruh dari Jawa setelah abad 14.

Di luar area desa terdapat area turis yaitu Pantai Candi Dasa, setelah candi kuno di perbukitan, dan melintasi danau adalah pusat meditasi Gandhi. Desa Tenganan Pegeringsingan adalah salah satu desa di Perumahan Karangasem, dan satu-satunya tempat di Indonesia dimana bahan tenun dobel ikat geringsing dibuat. Hal inilah yang menyebabkan desa ini akhirnya dikenal sebagai desa Tenganan Pegeringsingan – Desa Geringsing. Pada perayaan-perayaan khusus, terdapat banyak sekali ritual yang beragam dengan upacara tari-tarian bagi laki-laki dan perempuan, yang mendiskripsikan bagaimana keaslian dari upacara budaya di dalam desa tersebut berlangsung.

Masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan mempunyai Hindu Indra atau aturan-aturan Hindu kuno, yang mempertimbangkan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi dalam orientasi kehidupan mereka sehari-hari menjadi obyek untuk disembah.

Kondisi-kondisi yang disebutkan di atas membawa masyarakat untuk membangun tempat tinggal mereka dan bangunan-bangunan fasilitas bersama dengan cara yang berbeda (lihat gambar 3). Arsitektur dan layout dari desa sangat berbeda, lebih lanjut banyak aturan-aturan yang berlaku di kehidupan masyarakat terlihat berbeda.

Secara administratif, Desa Tenganan Pegeringsingan mempunyai tiga kelompok masyarakat kecil yang dikenal sebagai Banjar Adat. Ketiga Banjar Adat tersebut adalah Banjar Kauh, Banjar Tengah dan Banjar Kangin/ Banjar Pande. (lihat gambar 4). Banjar Kangin/ Banjar Pande terletak di bagian timur dari desa, untuk mengalokasikan semua orang di dalam lingkungan masyarakat yang telah melakukan pelanggaran aturan tradisi dan budaya. Selanjutnya, area ini juga tertutup bagi pendatang-pendatang baru.

Pada peta di gambar 4 terlihat bahwa terdapat tiga jalur utama yaitu Utara ke Selatan sebagai sirkulasi dan dua rute dari Barat ke Timur yang dikenal sebagai gang. Tiga jalur utama dari sirkulasi tersebut memperlihatkan layout dan pola dari rumah-rumah masyarakat sebagai formasi linier dari Utara ke Selatan dengan pintu masuk utama terletak di sebelah Barat dan Timur.

Pola lingkungan binaan yang sudah ada berisi semua kavling rumah dan tiga sirkulasi, yang mempunyai orientasi pada sirkulasi utama (di pusat Banjar Tengah). Tiga sirkulasi utama tersebut juga mempunyai fungsi sebagai ruang interaksi untuk sosialisasi. Koridor dan jalur sirkulasi, yang terjadi karena pola kavling rumah, membentuk pola jalan menuju jalur utama. Hal tersebut dapat dibedakan dengan skala dan dimensi jalan yang ada (jalan primer, sekunder dan tertier). Dari fungsinya, jalan tersebut dapat dibedakan sebagai ruang-ruang publik untuk aktifitas sosial, budaya dan ekonomi.

Dari pola eksisting fisik lingkungan binaan di dalam Desa Tenganan, terlihat jelas bahwa filosofi dasar dari arsitektur tradisional bali khususnya konsep dasar keseimbangan alam – Tri Hita Karana – adalah merupakan satu konsep yang memadukan keharmonisan tiga komponen yang dipengaruhi kehidupan sosial dan kebahagiaan.

C. TUJUAN PENUNJUKAN DAERAH KONSERVASI
Beberapa tahun sebelum peraturan tentang konservasi diperkenalkan, konsep konservasi ditekankan pada lingkungan manusia dan kebutuhan akan pendekatan secara komprehensif (Covarrubias, 1946). Untuk itu, saat ini konservasi tidak hanya memperdulikan obyek fisik saja, dan juga nilai-nilainya saja, namun juga menyangkut masalah sosial ekonomi dan fenomena budaya (Budihardjo, 1991). Melestarikan peninggalan arsitektur, di Indonesia dan Bali khususnya, tidak sesederhana seperti memberi warna atau meningkatkan secara estetika sebuah lingkungan dan kemudian meningkatkan penampilan visualnya. Konservasi adalah sebuah aktifitas yang menyebabkan sebuah perubahan komunitas dalam hal sosial, ekonomi, dan budaya dan kemudian menjadi masyarakat yang berkelanjutan.

Kunci dari hal ini adalah identifikasi dari nilai-nilai yang terbagi dan juga konsep yang ditangani oleh komunitas. Tugas yang paling penting dalam melestarikan peninggalan arsitektur Bali adalah menemukan konsep filosofi dasar dari arsitektur Bali. Ide yang harus digarisbawahi disini adalah bahwa konsep tersebut harus selalu digunakan walaupun dalam penerjemahannya akan berbeda-beda hasilnya seperti dalam hal bentuk fisik yang berbeda.

Dengan adanya ide tentang keharmonian antara yang lama dan yang baru, bangunan-bangunan yang berbeda saat mencoba untuk mempertahankan karakter individu masing-masing, mengkombinasikannya untuk membuatnya lebih baik dan total. Secara khusus, mencampurkan antara yang lama dan yang baru secara keseluruhan akan lebih baik daripada hanya menambahkan bagian-bagian. Kemudian, hal yang paling penting mungkin dapat menyerang keseimbangan tanpa mengkompromikan nilai-nilai tradisi yang relevan dan inovasi yang esensial.

Kemudian untuk memenuhi konsep konservasi, Bali harus memberi perhatian lebih pada pelestarian budaya, filosofi dan konsep serta ide dasar disain. Hal ini secara pasti akan mengawali pengaruh-pengaruh kuat untuk merubah yang tidak dapat dihindari ketika secara simultan masyarakat berusaha untuk mempertahankan semua hal yang bernilai baik dari masa lampau, yaitu tujuan paling penting dari konservasi. Satu dari program awal dari pemerintah lokal Bali adalah dengan menggulirkan Desa-desa tua di Bali yang mencoba untuk menjaga budaya aslinya (seperti Desa Penglipuran, Desa Tenganan dan Desa Trunyan) sebagai daerah konservasi di Bali.

Sebagai Desa Tua, Tenganan Pegeringsingan menjadi tempat yang menarik bagi turis yang pertama di Bali sejak Bali menjadi daerah turis di Indonesia (Department of Tourism Board, 1999). Selanjutnya, keunikan dari bentuk bangunan, pola-pola rumah, pola-pola desa dan pola kehidupan masyarakat Bali serta tradisi kuatnya menjadi nilai-nilai yang atraktif bagi turis asing untuk dating ke Desa Tua tersebut.

Tenganan Pegeringsingan terpilih menjadi daerah konservasi karena keasliannya, keunikannya dan tradisi serta budayanya. Masyarakat Tenganan memiliki aturan untuk melestarikan dan meningkatkan lingkungan di dalam desa tanpa harus merusak kehidupan mereka dan tanpa mempengaruhi secara negative nilai-nilai tradisional mereka.

D. PENUTUP
Tenganan Pegeringsingan sebagai satu dari beberapa desa-desa tua di Bali, yang tidak terhindar dari pengaruh-pengaruh adanya kegiatan turisme di Bali, nampaknya masih dapat bertahan sampai saat ini. Banyaknya pendatang-pendatang baik turis asing maupun domestik yang mempertanyakan keaslian dan kemampuan bertahannya Desa Tenganan, ternyata tidak berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan tradisional masyarakatnya.

Terlihat bahwa di Desa Tenganan Pegeringsingan seluruh bangunan-bangunannya menggunakan konsep arsitektur tradisional Bali. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh yang kuat dari luar tidak melunturkan kemurnian tradisi mereka. Pengaruh modernisasi dari luar mempunyai peranan yang cukup kuat di Bali, namun pada kasus Tenganan pengaruh tersebut berdampak hanya pada beberapa aspek. Pengaruh tersebut diantaranya adalah pemakaian material arsitektural beberapa bangunan, seperti bangunan publik maupun fasade bangunan, perubahan fungsi rumah menjadi tempat usaha, adanya konsep pedestrianisasi dan juga perbaikan utilitas yang ada di dalam lingkungan Desa Tenganan Pegeringsingan. Beberapa pengaruh ini tentunya tidak berdampak pada perubahan kemurnian Desa Tenganan Pegeringsingan. Hal inilah yang menjadikan Tenganan Pegeringsingan tetap dikenal sebagai Desa Bali Aga yang terjaga keaslian dari segi kehidupan tradisi masyarakatnya maupun arsitektur tradisionalnya.

E. DAFTAR PUSTAKA
About the Bali and Beyond Netsite. (1999). Http://www.balibeyond.com/
Alit, IK et al. (1986). Laporan Penelitian (Research Report). Pengaruh Teknologi
Modern Terhadap Perkembangan Arsitektur Tradisiona. University of Udayana. Bali. Indonesia.
Bali Paradise Online. (1999). Bali Paradise. Http://www.bali-paradise.com
Barnett, Winston and Cyril Winskell. (1977). A Study of Conservation. London:Routledge.
Bateson, G and Margaret Mead. (1942). Balinese Character: A Photographic Analysis. The New York
Academy of Sciences. United States of America.
Bhirawa, B et al. (1985). Jawa Bali, Sebuah Pengamatan Arsitektur. Studi Ekskursi
Jurusan Arsitektur, Universitas Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1991). Conservation and Restoration. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997a). Kepekaan Sosio-Kultural Arsitek. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997b). Arsitektur yang Berakar Tradisi. Djambatan. Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997c). Identitas Arsitektur dan Lingkungan. Karya Unipress. Jakarta.
Indonesia.
Budihardjo, E. (1997d). Konservasi Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Djambatan.
Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997e). Revitalisasi Pusat Kota Lama. Djambatan. Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997f). Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Djambatan. Jakarta.
Indonesia.
Budihardjo, E. (1997g). Preservation and Conservation of Cultural Heritage in
Indonesia.. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.
Covarrubias, M. (1946). Island of Bali. London: Routledge.
Larkham, PJ. (1996). Conservation and the City. London: Routledge.
Sulistyawati. (1998). Konservasi Desa Kuno dalam Antisipasi Pariwisata. Dimensi
Teknik Arsitektur Vol. 25. LPKKM-Universitas Petra. Surabaya. Indonesia.
Sulistyawati. (1999). Design Guidelines of an Old Traditional Village in Anticipating
Tourism Impact. Universitas Udayana. Bali. Indonesia.

Sunday, August 06, 2006

Jurnal NALARs Juli 2006 >> The Control System

THE CONTROL SYSTEM IN DEVELOPMENT AND PLANNING PROCESS

Ari Widyati Purwantiasning

Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta

arwityas@yahoo.com

“The only real way to design sustainable cities is by being able to effect

both the macro and the micro levels of the town simultaneously”

(Guy Battle)

ABSTRAK Tulisan ini mengangkat topik tentang sistem kontrol dalam proses pengembangan dan perencanaan suatu kota. Dalam pemaparannya akan dijelaskan mengenai bagaimana sistem kontrol dalam perencanaan di Negara Inggris sehingga dapat menanggapi kebutuhan di lapangan sesuai dengan beberapa pihak yang terkait dari mulai perencana, arsitek, pemerintah lokal maupun pemerintah pusat serta beberapa stakeholders lainnya. Selain itu dalam pembahasan juga akan diuraikan mengenai beberapa perangkat kontrol yang disediakan dalam proses perencanaan kota sehingga dalam pelaksanaan pengembangan kota tidak menghasilkan kesemrawutan dan ketidakteraturan. Dengan pemaparan mengenai sistem kontrol ini maka diharapkan tulisan juga dapat menjadi bahan masukan dan juga studi banding dari Negara maju Inggris sehingga dapat menjadi acuan bagi perencanaan pembangunan khususnya di Jakarta dan umumnya di Indonesia. Walaupun beberapa perangkat kontrol yang dipaparkan dalam tulisan ini, sudah dirancang sebaik mungkin, namun ada saja kekurangan dari beberapa perangkat kontrol tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya selalu ada evaluasi yang akhirnya mengarah kepada peningkatan kualitas dari sistem kontrol tersebut.

  1. INTRODUCTION

‘certain objectives …………have been absorbed by planning merely because they cannot be pursued by any public authority under its current powers. In such circumstances planning, in cricket terms, acts as a long-stop for balls which cannot be fielded by other public authorities’ (Lichfield: 1956, p.31, McLoughin: 1973, p.31)

The design activity was intense. Local plans, village plans, city-wide infrastructure and landscaping policies were developed. A system for industrial buildings and the structure of the city centre, conservation areas, housing programmes, community buildings, sport and recreation, health programmes, building classification and recruitment of local building industry all ran parallel with national, local and county liaison.

The time-honoured principles of the traditional city constitute the only body of knowledge to which we can look for guidance today. Indeed, it is the neglected wisdom of the traditional city-whether European, English, American or otherwise – that is now showing fresh sign of life, at a time when both modernism and post modernism alike seem incapable of delivering a socially and ecologically responsible programme of urbanization.

The issue today, however, is not one of stylistic but of design, with a view to ecological balance which is known as sustainability development. How to control the design and development is the issue which will be touched on in this essay. This issue not only just dealing with architecture design but also with landscaping and urban design in the future.

This is a wholesale programme of re-awakening from controlling the sprawl of our cities, to reconsidering the scale and measure the urban block, all the way to encouraging a typological understanding of design that establishes hierarchies between public and private building, as well as a concern for the civic open spaces of our cities.

  1. CURRENT CONDITION OF PLANNING AND DESIGN CONTROL

From the recent condition of development and design which is not enough being controlled by existing tools, the DETR try to establish new tools to control design and create better control system. These new tools are new guidance on design in planning system. Planning should provide a policy framework for urban design based on a set of objectives which are derived from experience of what makes successful places and related to how people used bad experience urban space.

Kevin Campbell and Robert Cowan, said that the manual has a function to describe the kit of tools which local authorities can use to create the conditions for good design and national and regional planning guidance should provides the context for this purpose. (Planning, 1999)

According to Kevin Campbell and Robert Cowan, the toolkit has two parts (see figure 1) which known as ’hardware’ (tools of policy and guidance) and ’software’ (the mean of raising standards in the management and operation of the planning system). (Planning, 1999)

As far as hardware is concerned, the local authority’s development plan is the most important planning tool which is further detail is provided in supplementary planning guidance, including urban design frameworks, development briefs and design guides. The development control process must be used to deliver quality, with the help of design statements and independent assessments.

And on the other hand, as for the software aspect of the toolkit, high standards of design depend on proactive management of the planning system and developing skills. Effective collaboration between stakeholders is essentional. Too much of current local authority design policy and guidance is vague and ill-conceived.

Design control has always been an integral part of the development control system in England or anywhere else. And it is also important to note that design issues have always been the focus of a lively debate between the architectural and planning professions which have been quite separately and also between development and amenity interests.

  1. IS THERE ANY GAP BETWEEN PLANNING AND DESIGN?

As a planner, city can be defined as a ’diorama’ in the historical museum which has ability to reflect impressions in appropriate time. The relation between ’city as a diorama’ and the historic of the city extracted by Kevin Lynch in his book ’Good City Form’ which has influences for almost all planners recently.

In this term, planning more concern about how to plan the physical element in the city such as ’landmark, edges, district and node’, or by providing main development such as ’plaza or boulevard, park, garden and open spaces’, without concern about economic as well as social aspects. In this context, architect has a role in city planning, to realize the ideas, dreams and obsession to develop a city.

On the other hand the main problem of chaosity in big cities is because there is a gap between ’planning’ and ’architecture’. In term ’architecture’ there are too many things to be concerned about art and aesthetic. On the other hand in ’planning’ more concern about ’pseudo science’ which has vision to the future. This gap has to be solved by integrating ’planning’ and ’architecture’ as one step to create excellent city. This condition still become main debate between planners, architects and other parties about the quality of built environment.

Proactive planning is not a substitute for good designers. It is a way of making space for them to design creatively, and helping them avoid later finding themselves tripped up by matters of public policy, economics or local context which they failed to take into account. Unsuccessful urban development almost has its roots in imbalance between policy, context, approach and feasibility or between the various urban design objectives.

One alternative way to intervere this condition, by establishing development control document such local guidance, development briefs, design strategies, etc, which might be helpful to control the chaosity in urban development. Although there are such legislation and policy about local context, which has intervention in the design process of urban development, planners themselves as one part of planning process have actively being steered away from any involvement in such a process.

  1. EXISTING TOOLS IN PROMOTING AND CONTROLLING PLANNING AND DESIGN

1. Development Plans

’The planning system should be efficient, effective and simple in conception and operation. It fails in its function whenever it prevents, inhibits or delays development which should reasonably have been permitted. It should operated on the basis that applications for development plan all material considerations, unless the proposed development would cause demonstrable harm to interest of acknowledged improtance’ (DoE 1992a, para 5).

As far as tool is concerned, the most important planning tool is the local authority’s development plan. This tool sets out the policies against which development proposal will be assessed. The legislation stated that when deciding applications for development the local authority – ’had to have regard to development plan and any other material considerations’ (Punter, 1994).

2. Design Strategies

’An attempt was made to identity the role of design in the plan’s strategy, both in terms of the plan’s agenda and the spatial strategy for development. The main design policies was identified which is based on area appraisal or consultation.’ (Punter, 1994)

Design strategy is a clear implementation from local authority’s act towards design and planning which could perform the basic of all design control to produce good plan and design within devopment plan. Nevertheless, some plans exhibit dual strategies and thus count in more than one category in local plans.

There are few plans as well which attempt to develop in large scale of area and try to make coherent with design strategy of their district of borough or maybe with regional planning guidance or structure plan policies.

3. Design Guides

A key area of analysis was the relationship between policy and Supplementary Design Guidance (SDG). There were wide variation of practices with regard to the inclusion of guidance in the plan itself and a marked and very serious failure to cross-reference guidance in relevant policies where it was not included in the plan. A meaningful assessment of the quality, coverage and policy relationship of guidance cannot be made from analysing the plans, but must depend upon a close comparison of the plan with all published guidance issued by local planning authority.

Design guide itself can be defined as – ’a general set of design principles and standards required by the local authority and applying to a wide range of area and not just a particular site.’ (Liewelyn-Davies Weeks, Forester-Walker and Bord, 1978, p.9, Biddulph, 1996, p.145)

Guides seed to provide positive systems of intervention in the development process, and guidance should encourage negotiation between designers and planners before a scheme is submitted for planning permission. (Biddulph, 1996, p.148)

4. Development Briefs

Development briefs must also be distinguished from what in some areas are called Local Plan Briefs or Project Briefs which are basically agreements between District and County Planning Authorities over the preparation and adoption of statutory local plans.

In this context, the term of Development Brief is intended to cover documents variously called Developers’ Briefs, Planning Briefs and Design Briefs. (See figure 2)

A brief will usually be issued by local authority or other public body with responsibility for control of development in the area.

In its definition and its purpose, a development brief can be defined as followed:

‘A Development Brief, as its name implies, is a summary statement of the ‘author’s policy position on development matters relating to the site and/ or premises. It should also provide other relevant material intended either for common information between parties having a potential interest in development of a site or as a starting point for negotiation with, or competition between developers’. (RTPI, 1990, para.3)

5. Design Policies

Design policies as one of tools to promote and control planning and design, need to be carefully considered as integral elements of the plan’s strategy and not marginalized as dispensable considerations when development is considered.

The positioning of design policies itself in the plan is an importance statement of the overall role assigned to design. The shift towards integrating natural and built environment design concerns in an environment matters is to be applauded, but it often tends to mean that urban design is not given a very heavy emphasis. Some plans address spatial issues in a number of ways and thus count in more than one category.

  1. GAPS BETWEEN EXISTING TOOLS

There are a number of gaps in the control over the physical environment avalaible through development control procedures which involve a number of parties such as architects, planners and landscapers. Of course, it is possible to argue that some kind of general control over the physical environment is not the purpose of development control, that development control exists to regulate land uses, to conserve ’amenity’ and to implement development plan policies.

If development control is to remain a major tool for the implementation of plans it must be adequate to its task of implementing this broader type of plan. Urfortunately its present legal structure does not comprise a number of areas of current concern to local authority planning and to the public at large.

In the term of implementing the existing tools, it needs to balance those tools which can influence the development process. These existing toolkit in guiding quality of built environment often conflict with one another. The successful development depends on planners and urban designers bringing stakeholders together and applying the art of ’urban choreography’. Achieving a balance in this way will be in the interest of everyone who takes a part in the development process and wants to avoid inappropriate development, commercial failure, and poor design.

  1. CONCLUSION

The development plans should set out clearly the role and the relative weight to be attached to design policies in the development plan, and relate these clearly to the plan’s strategy and objectives. It is clear that the opportunity to develop spatial strategies to direct the location and form of development, as well as its integration with infratstructure provision and nature conservation, needs to be grasped more fully.

To formulate local policy, which is lack of design appraisal, should touch on all aspects of the environment and be easy to comprehend.

In this case, consultation should support appraisal and be reflected in policy justification.

According to the wide range of urban development, which sometime deal with large scale or maybe small area, local authority should be sensitive in providing different local policies for those different scale of development process and should be related to design concerns and criteria.

The development process which always change in period of times, will need new policies and guidances to promote and control it. The existing toolkit need to be renewed which depends on the local policy and local context within development areas.

Any policies, guidances or designs that cannot be seen clearly as a response to one or more of the urban design objectives will contribute nothing to good urban design. Equally, any policies, guidances or designs that are not expressed clearly in terms of one or more aspects of development form will be to vague to have any effect.

How the objectives and the aspects of form relate to each other will depend on both local context and the type of planning tools such as explain before in section D.

Finally, to be underlined, that the local authority has an important role to lead development process in promoting high quality design in built environment by providing its own development projects which accord to its own policies and guidance.

All the existing tools should relate and support each other to promote and control urban development process and to produce high quality development in urban built environment.

REFERENCES REVIEW

Biddulph, MJ. (1996). An Evaluation of a Private Sector Residential Layout Guide,

in Urban Design International. Vol 1(2), pp. 145-162. England.

Booth. Philip. (1996). Controlling Development. UCL Press Limited. London.

Hall, AC. (1990). Generating Urban Design Objectives for Local Areas: a

Methodology and Case Study Application to Chelmsford: Essex in Town Planning Review. Vol. 61 (3), pp. 287-309.

HM, Treasury. (1988). Policy Evaluation: A Guide for Managers. 3rd Impression.

HMSO Publications Centre. London.

McLouglin, J Brian. (1973). Control and Urban Planning. Faber and Faber Limited.

London.

Meades, J. (1979). Aesthetic Control: Strangling Creativity? In Architects Journal.

Vol. 167, December, pp. 1316-1324.

Morgan, Peter and Susan Nott. (1996). Development Control: Law, Policy and

Practice, 2nd Edition. HMSO. London.

Punter, JV etal. (1994). The Design Content of Development Plans, in Planning

Practice and Research. Vol. 9 (3), pp. 199-220.

Punter, JV. (1994). Design Control in England, in Built Environment. Vol. 20 (2), pp.

169-180.

Royal Town Planning Institute. (1995). Development Control. In Practice Advice Note

No. 9. London.

Royal Town Planning Institute. (1990). Development Briefs. In Practice Advice Note

No. 8. London.

Royal Town Planning Institute. (1998). Planning for the Natural and Built

Environment. 6 November 1998. Planning Publication. London.

Royal Town Planning Institute. (1998). Planning for the Natural and Built

Environment. 13 November 1998. Planning Publication. London.

Royal Town Planning Institute. (1998). Planning for the Natural and Built

Environment. 27 November 1998. Planning Publication. London.

Royal Town Planning Institute. (1998). Planning for the Natural and Built

Environment. 11 December 1998. Planning Publication. London.

The Scottish Office. Resource for Urban Design Information Web Site.

http://rudi.herts.ac.uk/