Tuesday, November 21, 2006

Jurnal KULTUM 2006 >> Upgrading

UPGRADING SEBAGAI SEBUAH KEBIJAKAN PENINGKATAN

KUALITAS LINGKUNGAN

Ari Widyati Purwantiasning

Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta

arwityas@yahoo.com

ABSTRACT

This research will explore about upgrading as a policy to improve the quality of built environment particularly within slum and squatter areas. The discussion will touch on upgrading as a policy, the budgeting of the upgrading project, the security of tenure, the allocation of land use, the support of informal sector, the standard of physical development, and the role distribution of stakeholders.

The slum and squatter areas had been formed from illegal settlements which consist migrant from suburban areas to urban areas. This condition becomes a burden for urban areas such as Jakarta. Actually, there are two main problem solutions to be delivered by government. They are slum clearance and upgrading policy. Slum clearance is to relocate slum area from origin place to new areas within suburban. But from the evaluation of the program, slum clearance had been regarded as an ineffective solution for this problem. This condition had encouraged government to deliver new problem solution which is known as upgrading.

  1. PENDAHULUAN

Urbanisasi adalah proses perubahan masyarakat dan kawasan dalam satu wilayah yang non urban menjadi urban. Pertumbuhan urban yang cepat menyebabkan kebutuhan amenities, urban services, kebutuhan perumahan, air, listrik, transportasi dan pelayanan sosial menjadi semakin bertambah.

Pertumbuhan urban yang cepat dan tidak terkontrol sedangkan fasilitas pelayanan masyarakat (urban services) yang tidak memadai akan menimbulkan permukiman slum dan squatter. Kondisi slum dan squatter ditandai dengan keterbatasan akses menuju urban services, misalnya saluran air bersih, saluran pembuangan, rumah dan lain-lain yang justru merupakan elemen penting dalam pembangunan perumahan.

Usaha awal untuk menghadapi problem yang ditimbulkan oleh slum dan squatter dapat ditempuh dalam dua cara. Cara pertama adalah slum clearance, yaitu relokasi slum dari tempat asalnya (yang lama) ke daerah baru di pingghiran kota yang jauh dari pusat kota. Cara ini ternyata tidak efektif karena seringkali daerah baru tersebut belum memiliki kelengkapan sarana dan prasaran (infrastruktur, fasilitas transportasi, dsb) yang memadai sehingga banyak masyarakat slum yang kembali membuat slum yang baru di tengah kota. Cara yang kedua adalah upgrading, yaitu melakukan peningkatan kualitas lingkungan dengan cara menyediakan dan melengkapi sarana infrastruktur.

  1. UPGRADING SEBAGAI SUATU KEBIJAKAN

Upgrading merupakan kebijakan yang muncul sebagai kelanjutan dari Enabling Strategy. Enabling Strategy ini merupakan prinsip dari Global Strategy To The Year 2000, yang berlatar belakang masalah pengadaan perumahan bagi seluruh masyarakat terutama masyarakat miskin.

Enabling Strategy timbul karena pemerintah negara berkembang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Strategi pengadaan perumahan yang sebelumnya bersifat provider bergeser menjadi enabler, dimana pemerintah mendukung dan membantu keterlibatan pihak lain terutama pemakai dalam penyediaan perumahan.

Upgrading dilakukan untuk menghadapi problem yang ditimbulkan oleh permukiman slum dan squatter yang diketahui sebagai akibat tipikal dari ketidakmampuan pemerintah untuk mengontrol dan mengarahkan/ membimbing pembangunan urban. Tujuannya adalah untuk merangsang pembangunan perumahan dengan menyediakan sarana pelayanan (urban services) dan bukan mengerjakan pembangunan unit-unit perumahan yang sesungguhnya. Pendekatan itu didasarkan pada anggapan bahwa dengan penyediaan sarana tersebut, penduduk akan terdorong untuk membangun tempat tinggalnya yang pantas.

Upgrading dianggap menawarkan pemecahan yang layak terhadap problem perumahan , dengan alasan:

1. Beban dana masyarakat dapat lebih kecil bila dibandingkan dengan public housing dan relokasi, yaitu jika program upgrading ini didesain dengan menggunakan prinsip-prinsip keterjangkauan dan partisipasi masyarakat

2. Adanya security of tenure, akses kredit dan partisipasi masyarakat dalam simpanan/ tabungan serta pengerahan tenaga kerja dalam kegiatan upgrading

3. Adanya alasan politis dan praktis

4. Memungkinkan aktivitas sektor informal yang sesuai sifatnya (ketergantungan komunitas dan lokasi, dsb) bila dibandingkan dengan relokasi yang akan menggeser mereka dari mata pencahariannya dan ketidakmungkinan mereka untuk tinggal dalam public housing maupun apartemen.

Penerapan upgrading adalah keterlibatan masyarakat tidak hanya membangun bangunan tetapi juga dalam pembiayaan dan manajemen pembangunan. Upgrading membutuhkan usaha terkoordinasi dari semua sektor baik dalam perencanaan dan proses implementasi (pelaksanaan) pembangunan urban yang terintegrasi.

  1. PEMBIAYAAN, KETERJANGKAUAN DAN PEMULIHAN BIAYA

Program upgrading ini dilaksanakan dengan dana yang berasal dari pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dana pemerintah untuk menyediakan perumahan secara konvensional bagi masyarakat slum dan squatter dibandingkan dengan perbaikan kualitas lingkungan. Biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan upgrading ini relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan cara konvensional. Selain itu, kondisi masyarakat itu sendiri tidak akan mampu untuk membeli rumah yang disediakan secara konvensional oleh pemerintah.

Pengembalian pinjaman dana untuk pembiayaan upgrading dilakukan dengan 3 cara:

1. Pembayaran langsung dari penghuni (dapat berupa harga beli, pembayaran sewa dan pajak-pajak perbaikan)

2. Dengan biaya tambahan pada sambungan utilitas dan fee konsumsi untuk air, listrik, dan saluran/ sistem pembuangan

3. Dari pajak penghasilan penduduk urban, seperti pengumpulan pajak properti yang juga memungkinkan terjadinya subsidi silang antara grup dengan penghasilan yang beragam

  1. SECURITY OF TENURE DAN ALOKASI TANAH

Keberhasilan proyek upgrading biasanya ditentukan dengan adanya security of tenure, yang dapat menghilangkan ketakutan masyarakat akan penggusuran dan mendorong partisipasi masyarakat berkenaan dengan kontribusi finansial dan tenaga kerja dalam melaksanakan upgrading.

Dalam menyusun kebijaksanaan upgrading, pemerintah menghadapi dua masalah:

1. Upgrading akan meningkatkan nilai tanah yang otomatis akan mempengaruhi peningkatan harga sewa yang harus dibayar oleh penghuni. Kemampuan membayar sewa tinggi ini hanya dapat dipenuhi oleh keluarga dengan income yang lebih tinggi, akibatnya permukiman akan ditempati oleh grup dengan income yang tinggi ini. Pemilik asli lebih tertarik untuk menjual tanahnya agar mendapatkan keuntungan, sehingga sasaran upgrading sesungguhnya tidak tercapai.

2. Perubahan penguasaan tanah dari illegal ke sah akan mendorong squatting lebih jauh dan memacu migrasi ke kota

Penghibahan kepemilikan ini seringkali tidak berhasil. Karena itu sebelum program dijalankan, pemerintah harus menetapkan sistem kepemilikannya (sewa). Pemerintah pun bertanggung jawab untuk memperoleh tanah sebelumnya untuk menghindari perjanjian yang sulit dengan landowner.

  1. DUKUNGAN TERHADAP SEKTOR INFORMAL

Kebanyakan program upgrading yang dilakukan adalah perbaikan kondisi fisik dari lingkungan kampung. Pada dasarnya kondisi fisik yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga (unit-unit keluarga), sehingga dampak dari program upgrading akan tergantung pada perbaikan kondisi sosial ekonomi rumah tangga, khususnya mengatasi kemiskinan dan ketidakmampuan ekonomi.

Kebanyakan penghuni daerah slum dan squatter bekerja pada sektor informal yang memiliki jam-jam kerja panjang yang ditentukan sendiri untuk mendapatkan upah yang mungkin minimum. Oleh karena itu pemerintah perlu membantu sektor informal dalam upaya meningkatkan kondisi sosial ekonominya.

Usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan mengurangi peraturan yang dapat menghambat/ membatasi aktivitas sektor informal, memberikan bantuan kredit dan teknis, mendorong tumbuhnya koperasi pengrajin dengan memberikan fasilitas bahan mentah dan mambantu memasarkan produk. Pemerintah juga memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang menggunakan teknologi sederhana untuk membuat pipa-pipa beton dan material lain yang nantinya akan digunakan dalam program upgrading.

  1. STANDAR PEMBANGUNAN FISIK

Rehabilitasi permukiman slum dan squatter harus sesuai dengan kemampuan ekonomi penghuninya, sehingga standar pembangunan fisik dan peraturan-peraturan bangunan yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan kondisi mereka. Tidak mungkin untuk menetapkan standar pembangunan fisik dan peraturan-peraturan bangunan yang mengkhususkan material dan dimensi sedangkan mereka tidak mampu menjangkaunya.

  1. DISTRIBUSI PERAN ANTAR AKTOR

Aktor-aktor yang terlibat dana berperan dalam program upgrading dapat dilihat pada tabel berikut. Dari tabel di bawah terlihat bahwa peran pemerintah dan masyarakat diusahakan sebanding dengan melihat kemampuan dan kondisi setempat.


Partisipasi masyarakat dalam merumuskan proses pembangunan didasarkan pada keyakinan bahwa penghuni harus dilibatkan dalam membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Alasannya adalah bahwa:

1. Pada umumnya hasil upgrading akan lebih sukses jika orang-orang yang tinggal dalam daerah yang di upgrade (beneficiaries) ikut serta dalam memutuskan tata letak tapak, akses jalan, lokasi pipa-pipa, tipe-tipe fasilitas komunitas, dsb. Hal ini akan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek ini kemudian dan mempertahankan komunitas yang telah di upgrade

2. Partisipasi masyarakat dalam semua tahap dari program ini akan memperngaruhi perencana, administrator dan politikus yang terlibat dalam program ini untuk membangun persepsi dan mengetahui kebutuhan masyarakat

3. Partisipasi masyarakat akan membangun kepercayaan dan semangat komunitas, serta mendorong mereka untuk berperan aktif dalam perbaikan kondisi kehidupan mereka.

Ada 3 model tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan:

1. menunjuk wakil sebagai penasehat dan pengatur

2. hanya terbatas untuk konsultasi dalam perencanaan

3. sweat equity (partisipasi sebagai tenaga kerja untuk konstruksi rumah dan infrastruktur)

Partisipasi masyarkaat ini hanya dapat ditentukan melalui dialog dengan masyarakat setempat karena tidak semua mau/ dapat terlibat secara penuh.

  1. KESIMPULAN

Upgrading sebagai kebijakan merupakan salah satu program dalam pengadaan perumahan bagi masyarakat terutama bagi kaum miskin. Program upgrading yang berdasarkan enabling strategy ini secara lokal mempunyai arah:

1. kredit dan suplai bahan bangunan

2. jaminan akan kepemilikan (security of tenure)

3. perluasan jaringan infrastruktur

Proyek yang muncul dari kebijakan upgrading mempunyai dampak luas dari fisik, sosial ekonomi dan organisasi. Keberhasilan program upgrading ditentukan oleh usaha mengkoordinasi/ menggerakkan semua sumber dan aktor dalam produksi dan perbaikan lingkungan hunian dalam perencanaan dan pelaksanaan.

DAFTAR PUSTAKA

Hardjakusumah, OS. Kampung Improvement Programme (Disertasi). London. 1978.

Pemerintah Daerah DKI. Perbaikan Perkampungan. Dua Tahun Dalam

Perkembangan. Jakarta. 1976.

Pemerintah Daerah DKI. Jakarta’s Kampung Improvement Programme, in The

Context of City Settlement Problem. Edisi 2. Jakarta. 1976

Silas, J. Permukiman Kumuh di Jakarta. Masyarakat Jurnal Sosiologi Perencanaan

Sosial dalam Pengembangan Kota. Jilid 2. PT Gramedia PU. Jakarta. 1993.

Skinner, reinhard J, John L Taylor and Emiel A Wegelin. Shelter upgrading for the

Urban Poor. Island Publishing House Inc. 1987.

--. Survey of Slum and Squatter Settlements.