Ngayogyakarta Hadiningrat
Teks dan Foto: Ari Widyati Purwantiasning
Dipublikasikan dalam majalah a+ kolom dadah - Desember 2000, volume 01 edisi 07
Pulang kekotamu, ada setangkup haru dalam rindu....
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna...........
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu nikmati bersama suasana yogya.....
Di persimpangan, langkahku terhenti ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu.....
Sepertinya alunan suara Katon Bagaskara selalu terngiang-ngiang di telinga setiap kali saya melangkahkan kaki keluar dari Stasiun Tugu Yogyakarta, menuju atmosfer Malioboro yang rasanya sudah tercium dari pelataran stasiun. Setiap kali itupun perasaan rindu akan kampung halaman juga mengusik hati. Dan nampaknya perjalanan saya ke Yogyakarta kali ini akan lebih menarik, karena selain untuk kepentingan perjalanan bisnis, tugas dari a+ untuk meliput perjalanan di Yogyakarta akan mengobati rasa jenuh dalam tugas penelitian yang harus saya lakukan selama seminggu penuh.
Ngayogyakarata Hadiningrat, itulah nama resmi kota Yogyakarta, tujuan wisata kedua setelah Bali. Kota Yogya yang dapat disebut sebagai kota tua, tidak nampak layaknya seperti kota tua dengan kehidupan masyarakatnya yang monoton. Justru seharusnya kota Yogyakarta lah yang dijuluki ’kota yang tak pernah tidur’, dan bukan tetangganya Solo. Hiruk pikuk lazimnya kota besar terlihat jelas di sepanjang jalan dan sudut kota Yogya. Bukannya hiruk pikuk akan banyaknya kendaraan bermotor dan kemacetan dimana-mana, tetapi banyaknya becak, andong dan juga sepeda dapat ditemukan di seluruh penjuru kota. Kota Yogya yang disebut sebagai kota pelajar selalu ramai dan padat dengan sepeda pada saat-saat tertentu seperti saat jam sekolah akan dimulai atau saat bubarnya sekolah pada siang ataupun sore hari.
Hanya dengan menumpangi sebuah becak dari tempat tinggal saya di daerah Wirobrajan, saya mulai perjalanan menuju daerah Ngasem, dimana terdapat pasar tradisional Ngasem. Pasar Ngasem menjual berbagai macam hewan yang lazim dipelihara maupun yang tidak, seperti trenggiling, jangkrik, burung, ular, landak, kucing, monyet dan lainnya. Seperti kebun binatang nampaknya. Keunikan dari pasar Ngasem inilah yang menyebabkan pasar tradisional ini dimasukkan dalam katalog travelling untuk para turis.
Dari pasar Ngasem, perjalanan saya lanjutkan menuju Taman Sari atau water castle. Di Taman Sari inilah, semua selir-selir dari Sultan dulu selalu bercengkerama dan bersenda gurau. Di Taman Sari juga terdapat satu kolam yang berfungsi sebagai tempat pemandian bagi para selir tersebut. Dan uniknya, pada satu sudut tempat pemandian tersebut terdapat satu bangunan yang cukup tinggi, yaitu tempat sang Sultan melihat para selirnya yang sedang berenang-renang di kolam pemandian tersebut. Di tempat inilah sang Sultan memilih satu selirnya untuk mendapat kehormatan ’bercengkerama’ dengan sang Sultan. Dari kolam pemandian, saya telusuri beberapa sudut bangunan termasuk suatu terowongan yang, kata orang Yogya, adalah jalan menuju ke Pantai Selatan. Menurut legendanya seluruh sultan Ngayogyakarta merupakan suami dari Ratu Pantai Selatan, mungkin untuk itulah terowongan tersebut dibuat. Legenda inilah yang kemudian diabadikan dalam seni patung Loro Blonyo. Boneka patung berbentuk sepasang pengantin Jawa ini hampir selalu menghiasi tata ruang dalam rumah masyarakat Yogya.
Setelah lelah menelusuri berbagai sudut bangunan di Taman Sari, becak yang saya tumpangi kembali berjalan menuju ke Keraton Ngayogyakarta. Dalam perjalanan ini saya juga melewati daeran jalan Kadipaten Kidul, di sepanjang jalan tersebut terdapat berbagai macam pertokoan yang menjual kerajinan Batik Yogya dari kain batik, sarung sampai dengan daster. Tapi bila Anda ingin melihat kerajinan batik tersebut dibuat, Anda dapat pergi ke daerah lingkungan Taman Sari, di sini Anda bisa melihat para pengrajin batik bekerja dan juga menjual hasil kerajinannya. Saya tidak tahu pasti apakah harga yang diberikan di pusat pembuatan batik di Taman Sari relatif lebih murah dari pada bila Anda membelinya di toko. Di sepanjang jalan Kadipaten Kidul ini, Anda juga dapat menemukan beberapa toko yang menjual kaos terkenal buatan para mahasiswa Yogya yaitu Dagadu. Tetapi bila Anda ingin lebih yakin akan keaslian produk Dagadu ini, Anda dapat membelinya di lantai basement Malioboro Mall, karena sepertinya produk Dagadu ini sudah diproduksi secara massal sehingga tidak jelas keasliannya.
Saya pun melangkah masuk ke dalam Keraton, becak yang saya tumpangi mengantar saya persis di depan pagar halaman belakang Keraton. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia, salah satu jantung kebudayaan khususnya bagi Kebudayaan Jawa. Keraton sendiri secara morfologis berasar dari kata Ratu, yang merupakan tempat bersemayamnya ratu-ratu. Di Keraton inilah sang sultan dan keluarganya melewati kehidupan sehari-harinya.
Sejarah Keraton tidak bisa dipisahkan dari mitos yang melingkupinya. Selain itu terdapat orang-orang yang menggerakkan roda kebudayaan keraton, mulai dari sultan hingga abdi dalem. Keraton memiliki banyak koleksi benda-benda pusaka antara lain kereta kencana, senjata-senjata pusaka, bendera-bendera, serta alat-alat musik. Salah satu karya budaya yang dilahirkan di lingkungan keraton adalah kesenian berupa tari-tarian beserta gending-gendingnya. Seluruh peninggalan benda-benda pusaka tersebut dapat dilihat di beberapa museum yang terdapat di dalam keraton ataupun di daerah lingkungan sekitar keraton, seperti museum HB-IX dan Museum Kereta.
Upacara-upacara adat yang terjadi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini masih dipelihara. Dari mulai upacara kelahiran putra-putri anggota keluarga keraton sampai upacara kematian seperti upacara kematian Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selain upacara adat Jawa, dari segi arsitekturnya dapat dilihat bahwa arsitektur bangunan keraton telah banyak berubah sejak pertama kali didirikan oleh Pangeran Mangkubumi. Beberapa kali renovasi telah dilakukan sebagai maintenance bangunan keraton. Di dekat keraton terdapat Masjid Agung yang masih berada di lingkungan alun-alun. Masjid Agung ini konon dibuat dengan menggunakan kayu yang dilapisi dengan lapisan emas murni, benar atau tidaknya, saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti.
Sempat terjadi suatu hal yang lucu di halaman belakang keraton, ketika saya sedang disibukkan untuk mengabadikan beberapa gambar, tiba-tiba ada seorang nenek yang minta difoto, sesaat timbul perasaan ngeri, tapi akhirnya saya foto juga nenek tersebut. Lucunya setelah difoto, beliau minta imbalan karena saya telah memotretnya, untuk menghindari keributan, akhirnya saya berikan dua keping uang logam ribuan. Dan saat beliau menerima uang tersebut, nenek tersebut berkata: “semoga bidadari-bidadari di surga selalu bersamamu nak“. Wah! Ngeri juga saya, akhirnya saya pergi dan meneruskan perjalanan saya menuju daerah sekitar keraton.
Dari keraton, becak meluncur menuju ke arah jalan Malioboro, daerah pertokoan yang saya yakin tidak pernah absen dari kunjungan para turis. Rasanya becak, andong dan sepeda motor selalu menghiasi suasana jalan Malioboro. Di sepanjang jalan Malioboro Anda dapat temukan semua kerajinan khas dan unik kota Yogya dengan harga yang relatif sangat murah, bila Anda pandai untuk menawarnya. Ada satu toko yang rasanya akan disukai oleh Anda semua yang tidak pandai tawar menawar: Mirota Batik. Karena sepertinya semua isi Malioboro ada di dalamnya. Seluruh kerajinan dari mulai batik Yogya, kerajinan kulit, kayu, bebatuan sampai dengan jamu-jamuan dapat ditemukan di Mirota Batik. Anda tidak perlu menawar lagi, karena semua harga yang diberikan adalah fixed price dan reasonable price. Pada akhir minggu, yaitu Sabtu dan Minggu, toko ini sangat padat dengan pengunjung baik turis lokal maupun asing. Tapi rasanya ada sesuatu yang kurang bila Anda telah sampai di Yogyakarta dan tidak menikmati jalan Malioboro. Karena memang di sepanjang jalan tersebut keunikan kota Yogya diekspresikan. Mulai jalm sembilan malam di sepanjang jalan Malioboro ini juga disajikan sajian khas orang Yogya yaitu lesehan, makan malam sambil duduk bersila di hamparan tikar. Makanan khas yang dapat anda pesan adalah burung dara goreng dan lalapannya.
Di balik semrawutnya jalan Malioboro, ada satu jalan yang baru kali ini saya lewati, yaitu jalan Sosrowijayan. Di sepanjang jalan ini Anda dapat temukan banyak cafe dan resto yang menyediakan segala macam makanan dari mulai masakan khas Indonesia sampai dengan masakan Cina dan Eropa. Daerah Sosrowijayan yang sebelumnya merupakan daerah permukiman ini, sudah berubah sedikit demi sedikit sebagai daerah komersil. Dilengkapi dengan beberapa penginapan dan homestay, daerah ini cukup dikenal oleh turis-turis asing. Lucu juga, karena sejujurnya sebagai orang Yogya, saya justru mengenal jalan Sosrowijayan dari Mikael Johani yang saya yakin bukan orang Yogya. Dan menurut penuturan dari salah satu pemilik cafe di daerah tersebut, Sosrowijayan memang lebih dikenal oleh para turis asing daripada turis lokal. Apalagi orang Yogya asli, kebanyakan belum tahu keberadaan resto dan cafe di Sosrowijayan. Tidak hanya cafe, resto dan penginapan juga dapat Anda temukan di sana. Banyak warung internet dan travel agency juga terdapat di daerah tersebut. Daerah Sosrowijayan ini selanjutnya akan ditujukan sebagai daerah wisatawan yang meniru konsep dari daerah Gajah Wong di Gejayan. Daerah Gajah Wong yang terkenal ini konsepnya diterapkan di Sosrowijayan, dan nampaknya keberhasilannya sudah terlihat.
Paralel dengan jalan Sosrowijayan terdapat jalan Dagen, yang juga terkenal dengan penginapan-penginapan murahnya. Kedua daerah ini merupakan daerah yang digemari oleh para turis asing, selain karena letaknya yang strategis dekat dengan pertokoan Malioboro, juga karena harga yang ditawarkan untuk menginap relatif murah dari mulai Rp. 25.000 sampai dengan Rp.50.000 per malamnya. Kedua daerah ini merupakan daerah kedua setelah Prawirotaman yang lokasinya relatif lebih jauh. Selain jauh, harga permalam yang diberikan di sana juga relatif lebih tinggi.
Tapi Yogyakarata bukan hanya kompleks pertokoan dan tempat-tempat makan yang menarik bagi para turis. Seni budaya yang asli dan indah juga merupakan hal yang menarik bagi para pengunjung kota ini. Seni budaya ini dapat ditemukan di berbagai sudut di kota Yogyakarta baik di lingkungan keraton maupun daerah di sekitarnya. Sebagai bekas kerajaan yang besar, Yogyakarta memiliki kesenian dan kebudayaan yang tinggi dan bahkan merupakan pusat sumber seni budaya Jawa. Hal ini dapat kita lihat dari peninggalan seni budaya yang dapat kita saksikan pada candi-candi, istana Sultan dan tempat-tempat lain yang masih berkaitan dengan kehidupan istana. Dan sebagian dapat disaksikan pada museum-museum budaya.
Kehidupan seni tari dan seni lainnya juga masih berkembang pesat di kota Yogya. Selain itu nilai-nilai budaya masyarakat Yogya terungkap pula dalam bentuk arsitektur rumah penduduk dengan bentuk joglonya yang banyak dikenal di seluruh Indonesia. Andong antik di Yogya memperkuat kesan bahwa Yogyakarta masih memiliki nilai-nilai tradisional. Seniman-seniman besar terkenal di Indonesia saat ini banyak yang dididik dan digembleng di Yogyakarta. Sederetan nama seniman seperti Affandi, Bagong Kusudhardjo, Edi Sunarso, Saptoto, Amri Yahya, Kuswadji Kawindro Susanto dan lain-lain merupakan nama-nama yang ikut memperkuat peranan Yogyakarta sebagai Pusat Kebudayaan Jawa.
Satu event yang menarik dan digemari oleh masyarakat Yogya maupun turis adalah Sekaten. Sekaten dilangsungkan pada saat menjelang Maulid Nabi. Masyarakat Yogya biasanya menyebutnya Sekatenan, pada hari tersebut ada beberapa hiburan dan pasar malam yang disajikan. Pada hari Maulid Nabi juga dilaksanakan sebuah upacara adat yang disebut sebagai upacara Gunungan (tumpengan). Biasanya pada saat upacara ini masyarakat akan berkumpul dan menunggu Gunungan tersebut lewat, dan akhirnya masyarakat akan berebut untuk mendapatkan satu dari sekian banyak hiasan Gunungan. Ada satu simbol tertentu yang diberikan dari setiap hiasan gunungan tersebut. Dari sekian banyak upacara Sekaten ini, baru sekali saya menyaksikannya, yaitu dua tahun yang lalu. Rasanya seluruh masyarakat Yogya berkumpul dan memenuhi lingkungan sekitar Masjid Agung di alun-alun. Penuh sesaknya orang tidak menurunkan semangat masyarakat Yogya untuk menunggu saat Gunungan tiba.
Satu seni kerajinan yang menjadi buruan para turis adalah kerajinan perak yang dapat ditemukan di Kota Gede. Di daerah Kota Gede ini terdapat sederetan pertokoan yang menjual kerajinan perak dengan berbagai ragam coraknya. Kota Gede juga dikenal sebagai pusat industri kerajinan peraknya. Salah satu toko yang cukup dikenal adalah Tom’s Silver yang berada di Jalan Ngeksi Gondo. Lokasi yang relatif cukup jauh, sekitar 5 kilometer dari pusat kota Yogya, kadang membuat turis memilih untuk membeli kerajinan perak tersebut di pertokoan yang berada di pusat kota Yogya. Walaupun tidak dapat dipastikan keaslian dari kandungan peraknya, tetapi semuanya saya serahkan pada Anda.
Yogya, Yogya...... Katon memang pantas terpesona olehmy. Kadang saya berpikir, kalau saja pusat kota Jakarta sekarang ini adalah daerah Kota, maka Jakarta bisa secantik kamu. Penuh dengan gedung-gedung tua berkarakter, dan bukan gedung-gedung baru yang selalu abu-abu. Dan mungkin orang-orangnya juga akan lebih berkarakter, dan bukan hanya terlalu sibuk menggolkan the next big proposal. Ah, sudahlah....back to reality....
>.....musisi jalanan mulai beraksi, oh....
Merintih sendiri, di tengah deru,...hey....
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi (untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh.....
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi,abadi......
Jakarta, November 2000