Monday, November 20, 2000

a+ oktober 2000 >> +Memaksimalkan Minimalisme

Memaksimalkan Minimalisme

Teks: Ari Widyati Purwantiasning
Majalah a+ dalam kolom atap - Oktober 2000, volume 1 edisi 05


Ditengah kesibukan dan kepanikan akan deadline yang makin dekat diambang mata untuk mengisi rubrik +atap, akhirnya kami menemukan satu rumah yang sesuai kriteria dan tema minimalisme. Bentuk rumah yang lebih cenderung ke arah postmodernity membuat sosok bangunan yang berlokasi di Bumi Karang Asih, Jalan Karang Asih II C2 No. 36 ini sangat mencolok di antara rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Gampang sekali untuk mencari rumah ini karena bentuk dan warnanya yang berbeda dari rumah-rumah yang lain. Tentu saja perbedaan yang mencolok tersebut memberi satu nuansa tersendiri di kompleks perumahan ini. Pemilihan warna dan juga pemakaian bahan pada bagian tampak bangunan, menjadikan bangunan tersebut terlihat lebih menarik.

Sejenak saya luangkan waktu untuk mengamati bagian tampak rumah yang mengundang mata dan mengesankan. Tanpa memberikan berbagai macam bentuk pada tampaknya, kesan yang saya tangkap adalah kesederhanaan. Seluruh permukaan facade menggunakan unsur rectangle, mulai dari jendela-jendela yang menempel pada dinding sampai pada lubang-lubang angin. Entrance depan dibuat sesederhana mungkin tanpa menyediakan ruang teras yang besar sebagai ruang peralihan. Teras entrance yang nampaknya juga berfungsi sebagai foyer tersebut dinaungi oleh sebuah kanopi kaca tempered dengan menggunakan konstruksi baja gantung dengan beberapa buah tali baja sebagai penggantung kaca tersebut. Transparency! Mungkin itu yang ingin diungkapkan oleh sang perancang.

Pemakaian bahan alam yaitu batu alam paras palimanan, menambah kesan elegant pada facade rumah, kesan tersebut bertambah dengan adanya beberapa titik spot lampu dinding. Yang saya yakin pada malam hari rumah ini akan terlihat lebih romantis dengan lighting yang ada pada dinding maupun kolom-kolom halaman depan.

Konsep garden house ternyata juga terungkap dari ide sang perancang. Dengan memberikan kesan terbuka namun tidak vulgar, halaman depan tidak dibatasi oleh sesuatu yang massive. Maksud saya, pada halaman depan tidak dibuat pagar-pagar menjulang yang berkesan mengekang sehingga rumah akan terlihat tertutup dan juga tidak bersahabat dengan lingkungan sekitar. Seluruh halaman depan dibuat perkerasan yang memenuhi salah satu fungsinya sebagai car port. Dan pada batas tepi kavling dibuat dua buah kolom, yang juga berfungsi sebagai batas territory.

Hal yang pertama kali membuat saya sedikit berkomentar wow adalah ketika saya memasuki ruangan rumah tersebut. Seluruh ruang ter-layout dengan perabot dan asesoris dari Decorous yang memberikan tema simplicity. Kesan rumah kecil dan sempit yang terbersit dalam benak saya saat pertama kali melihat tampak bangunan tersebut, tiba-tiba hilang setelah memasuki ruang utama rumah ini. Ruang yang relatif luas sepertinya berfungsi sebagai ruang tamu, dan ini menurut saya akan lebih cocok bila kedua arm chair yang ada dipindahkan. Dengan menjadikan ruang ini sebagai hall, saya yakin pasti akan memberikan kesan lebih luas lagi pada ruang dalamnya. Luas tanah yang hanya 195 m2 ternyata dapat dioptimalkan dengan menyajikan sosok bangunan yang memfungsionalkan seluruh ruang dengan luas 235 m2.

Simplicity! Mungkin ini merupakan kata paling tepat yang dapat menjelaskan tema rumah ini. Menurut Irmawan Pujoadi sang empunya rumah, konsep simplicity memang rasanya lebih tepat dikatakan sebagai konsep disain rumah ini dbandingkan dengan konsep minimalism. Dengan adanya beberapa macam warna yang digunakan dalam setiap ruangan, dan juga pemakaian beberapa material tambahan seperti sand stone dan juga paras palimanan, tampaknya konsep disain rumah ini tidak tepat dikatakan sebagai konsep minimalist. Karena tentu saja dalam konsep minimalist seluruh unsur yang digunakan lebih mengarah ke warna yang monotone atau juga senada, tanpa ada gradasi dan juga paduan warna. Selain itu, penggunaan perabot yang ada tampaknya tidak dapat dikatakan minimalist lagi karena adanya beberapa pernak pernik yang menjadi asesoris ruangan.

Ide simplicity dalam perancangan rumah ini timbul dalam benak Irmawan ketika ia menghabiskan beberapa waktu di Michigan untuk belajar. Ide tersebut timbul karena keterbatasan ruang dan juga keterbatasan waktu dalam mengurus rumah. Dari sinilah terpikir olehnya untuk menuangkan ide tersebut untuk membuat segala sesuatu lebih sederhana. Penyederhanaan tersebut dimulai dari pengaturan layout ruangan, perabot sampai dengan pemilihan perabot yang simple tanpa banyak ukiran yang memancing bersarangnya debu. Konsep simplicity dalam pemilihan perabot dan asesoris tampaknya lebih cocok menurut Irmawan untuk ruang-ruang yang kecil, sehingga ruang yang ada akan terlihat lebih lapang.

Irmawan berusaha mewujudkan semua angan-angannya dengan membangun rumah berkonsep simplicity di bilangan Cinere ini. Seluruh tahap perancangan dari disain rumah sampai dengan disain tata ruang dalam dilakukan oleh Irmawan sendiri, dengan dibantu oleh seorang teman arsitek yang juga membantu dalam pembangunannya. Menurut saya ide ini sangat tepat untuk diwujudkan dalam ruang-ruang yang kompak dan fungsional. Karena sesunggunya design is not a matter of formula, tetapi adalah sesuatu yang dapat dirasakan dan dilihat. Dari pengalaman melihat dan merasakan inilah akhirnya kita dapat mengkonsentrasikan sesuatu pada konteks the essence of the idea yang ada. Pemilihan konsep simplicity ini sebenarnya untuk menghindari adanya inventions yang tidak relevan dengan tujuan utamanya, yaitu kesederhanaan. Karena pada dasarnya, suatu disain yang semula mempunyai satu konsep utama bila diracik dengan ide-ide yang bermunculan belakangan biasanya akan menimbulkan chaos. Dan terkadang hal yang dapat menimbulkan chaos akan menganggu panca indera kita, khususnya mata.

Memasuki rumah dengan luas lahan yang relatif kecil tentu saja saya bertanya-tanya, berapa jumlah ruang fungsional yang ada di dalamnya. Ternyata keberadaan ruang-ruang dalam rumah ini di luar sangkaan saya. Rumah simple ini terdiri dari 5 kamar tidur dengan 2 kamar mandi dan toilet yang masih juga dilengkapi oleh ruang penunjang lain yaitu ruang-ruang yang ada dalam service area.

Kamar tidur pertama yang saya masuki ditata sedemikian rupa sehingga fungsinya berubah menjadi ruang audio visual dan juga ruang kerja. Hal yang dominan dan terekam dalam mata saya adalah atmosphere yang ada dalam ruangan ini, mempunyai tema yang berbeda dengan ruang-ruang lain di dalam rumah. Irmawan memberikan alasan yang cukup masuk akal, bahwa kebosanan kadang timbul bila ia melihat suasana ruang yang simple dan itu-itu saja. Hal inlah yang membuatnya mencari tema lain yang disajikan dalam ruang audio visual tersebut.

Ruang keluarga, atau lebih tepatnya disebut sebagai ruang duduk karena layoutnya yang terletak tepat setelah ruang tamu, ditata tanpa ada pembatas ruang. Sehingga tamupun dapat dipersilahkan duduk di ruang ini. Berada di ruang duduk ini, saya merasakan nuansa yang berbeda lagi, mungkin karena keberadaaan anak-anak tangga menuju ruang atas. Benar sekali! Keberadaan tangga tersebut menarik perhatian saya. Tidak terlalu unik tetapi komposisi bahannya membuatnya lebih menarik. Perpaduan bahan antara logam dengan kayu pada anak-anak tangga tersebut ternyata sangat serasi. Dan, penggunaan tali-tali baja pada balustrade-nya menambah kesan harmony. Saya dapat menangkap bahwa tangga ini juga dimaksudkan sebagai aksen antara ruang makan dan ruang duduk.

Dari ruang duduk tertangkap oleh mata saya suatu ruang kecil yang terlihat sebagai focus antara ruang makan dan ruang duduk. Ruang kecil tersebut adalah foyer antara kamar tidur utama dan kamar mandi. Ide yang muncul untuk pemanfaatan ruang kecil tersebut sangat tepat karena ruang tersebut difungsikan sebagai ruang wastafel. Tanpa mengurangi kesar sebuah ruang servis dan juga ruang yang layak harus tertutup, ruang kecil tersebut diperlakukan sedemikian rupa sehingga memberi kesan lebih elegan. Beberapa titik spot lampu pada ruang kecil ini memberikan pencahayaan serasi yang menunjang suasana ruang sekitarnya.

Di lantai atas (tambah luas saja kedengarannya rumah ini ya?) terdapat satu hall kecil sebagai ruang penerimaan dari tangga menuju ke ruang yang lebih private. Ruang tersebut ditata sefungsional mungkin sehingga menjadi suatu ruang yang berfungsi sebagai ruang komputer. Langit-langit hall disajikan dengan memberikan finishing touch timber arch. Selain dimaksudkan sebagai penutup kolong atap atau ceiling, timber arch ini juga berfungsi sebagai penutup ruang water heater. Jelas sekali terasa karena ketika itu saya merasa sedikit kepanasan di ruang atas tersebut.

Dari ruang komputer, saya beranjak menuju ke kamar tidur lain di lantai atas yang juga ditata dalam satu area dengan kamar mandi dan toilet. Hal yang menurut saya dapat menjadi contoh yang baik adalah bahwa pengudaraan dalam dua buah kamar tersebut terasa lancar. Cross ventilation terjadi karena kamar-kamar tersebut terhubung langsung dengan ruang luar yang menuju ke kamar mandi. Saya dapat katakan bahwa sirkulasi udara yang menyilang tersebut benar-benar berhasil diterapkan dalam ruang-ruang ini.

Hal yang saya sadari selama saya menjelajahi setiap ruangan adalah adanya suasana yang berbeda pada setiap ruangan. Setiap ruang pada rumah ini memiliki atmosphere yang berbeda sehingga tidak menimbulkan kejenuhan. Setiap ruangan diberi perlakuan yang berbeda, baik dalam pemilihan material bangunan maupun finishing touch yang disajikan. Contoh yang nyata adalah setiap ruangan memiliki finishing touch yang berbeda pada nuansa warna bidang dindingnya. Bukan sembarang finishing cat yang digunakan, tetapi finishing dengan French wash. Pemakaian finishing dengan sistem French wash ini sesungguhnya adalah suatu pemilihan material yang dapat menggantikan fungsi wallpaper yang kurang cocok untuk iklim lembab di Indonesia.

Sambil menunggu selesainya tugas fotografer, saya coba menunggunya di ruang duduk. Saat itu saya layangkan pandangan ke arah void atas menuju hall ruang komputer atas. Ketika itu saya rasakan suasana agak tertekan ketika melihat dinding massive yang menjulang dari bidang dinding ruang duduk ke atas. Sesaat terbersit satu imaginasi, seandainya dinding-dinding massive di atas void tersebut berubah menjadi bidang transparan sampai ke ceiling sehingga menjadi suatu skylight. Saya yakin suasana ruang tersebut akan berubah menjadi lebih menyatu dengan alam luar. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara lantang Sting yang mengisi kesunyian rumah dengan Brand New Day-nya. Bersamaan dengan itu suara adzan panggilan untuk sholat Jumat mengumandang. Nampaknya kami berdua harus pamit untuk memberikan sedikit privacy pada pemilik rumah.


Jakarta, September 2000

No comments: