Tuesday, December 28, 2004

non published 03- 2004 >> Kota Lama Semarang

Pesona Kota Lama Semarang

Teks dan Foto: Ari Widyati Purwantiasning
Arsitek, Penulis, Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta

Belajar sambil jalan-jalan adalah hobby saya sejak lama. Itulah nilai tambahnya menjadi seorang arsitek, karena kemanapun saya pergi melancong untuk berlibur selalu saja ada keingintahuan yang muncul dalam benak akan sudut-sudut yang menarik untuk dibahas maupun dipaparkan dari sebuah kota. Kali ini saya ajak anda untuk berkunjung ke Kota Lama Semarang. Mungkin semua sudah tahu dan pernah mampir di Kota Lumpia ini, tetapi apakah pernah terbersit untuk menjajagi bagian lain Kota Semarang yang dikenal sebagai Kota Lama Semarang?

Kawasan Kota Lama Semarang pada abad 18 dulunya merupakan kawasan pusat perdagangan. Pada masa itu untuk mengamankan warga dan wilayahnya, maka di dalam kawasan tersebut dibangun sebuah benteng yang dinamai Vijhoek. Dan untuk mempercepat jalur perhubungan antara ketiga pintu gerbang di benteng tersebut maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya yang diberi nama Heeren Straat. Saat ini jalan tersebut berubah nama menjadi Jalan Letjen Soeprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang disebut De Zuider Por.

Kawasan Kota Lama Semarang disebut juga Outstadt. Luas kawasan ini sekitar 31 hektar. Dilihat dari kondisi geografi, nampak bahwa kawasan ini terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga nampak seperti kota tersendiri sebagai peninggalan Belanda, sehingga sering mendapat julukan Little Netherland. Kawasan Kota Lama Semarang ini dapat disebut sebagai saksi bisu sejarah Indonesia masa kolonial Belanda lebih dari 2 abad, dan lokasinya berdampingan dengan kawasan pusat perekonomian Kota Semarang. Di dalam Kawasan Kota Lama terdapat sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan kokoh dan mempunyai sejarah masing-masing.

Di dalam Kawasan Kota Lama Semarang inilah, saya coba untuk menelusuri indahnya bangunan-bangunan kuno peninggalan jaman Belanda. Ada beberapa bangunan yang masih difungsikan sebagaimana aslinya, seperti Gereja Blenduk, namun ada juga yang sudah terbengkalai dimakan waktu tak terurus bagaikan bangunan tua yang dihuni makhluk-makhluk lain seperti rumah hantu, yaitu Lawang Sewu dimana pada atapnya menjadi tempat berlindung bagi kelelawar-kelelawar. Dua buah bangunan itulah yang menjadi kunjungan utama di Kawasan Kota Lama Semarang. Dengan adanya peninggalan bangunan-bangunan kuno tersebut, maka Kota Lama Semarang sangat berpotensi untuk dikembangkan di bidang kebudayaan ekonomi serta menjadi Kawasan Konservasi.

Gereja Immanuel atau yang lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk karena bentuk atapnya seperti blendukan, merupakan tetengger di Kota Lama Semarang. Berbeda dari bangunan lain di Kota Lama yang pada umumnya memagari jalan dan tidak menonjolkan bentuk, bangunan bergaya Neo Klasik ini justru tampil kontras. Bentuk blenduknya yang menonjol diperkuat dengan lokasi bangunan yang frontal terhadap Jalan Suari yang dulunya bernama Kerk Straat (Jalan Gereja). Bangunan ini merupakan bangunan setangkup dengan facade tunggal yang secara vertikal terbagi atas tiga bagian. Di seberang jalan, berhadapan dengan Gereja Blenduk berdiri Gedung Jiwasraya yang dilengkapi dengan ruang terbuka/ plaza bekas Parade Plein di Sebelah Timur Gereja. Saat saya memperhatikan suasana yang terdapat diantara kedua bangunan tersebut, atmosphere yang muncul justru bukan seperti layaknya Kawasan Kota Lama, tetapi hampir serupa dengan atmosphere kota di negara Eropa yang tentunya juga banyak terdapat bangunan tua.

Beralih kita menuju ke Simpang Lima, yaitu salah satu tempat yang menjadi ciri khas bagi Kota Semarang. Tempat ini merupakan alun-alun yang berada di tengah-tengah persimpangan antara Jalan Pandanaran, Jalan A Yani, Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Gajahmada dan Jalan Pahlawan. Berkembangnya fungsi Simpang Lima menjadi alun-alun merupakan saran Presiden Soekarno yang menyarankan pengadaan alun-alun di Semarang sebagai ganti dari Kanjengan. Saat ini alun-alun ini berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan, tempat berlangsungnya pertunjukkan, tempat rekreasi, bahkan sebagai pasar malam atau pasar kaget pada hari minggu. Saat hari minggu saya mencoba untuk menikmati segarnya pagi sambil naik becak dengan suami, kami akhiri perjalanan dengan mampir ke Simpang Lima. Alun-alun yang begitu luasnya, penuh dengan berbagai barang dagangan dari mulai kebutuhan rumah tangga, makanan, minuman sampai dengan sandang. Begitu banyaknya hal yang dapat dilihat sehingga rasa lelahpun tidak terasa saat mengelilingi alun-alun yang relatif cukup besar.

Beruntunglah, karena kunjungan saya ke Semarang saat itu tepat seminggu sebelum bulan Ramadhan menjelang. Karena pada saat itulah biasanya sebuah upacara seni dan budaya khas Semarang dilangsungkan. Salah satu atraksi yang cukup terkenal dan menjadi simbol di Semarang itu adalah adanya upacara Dugderan yang biasanya mengetengahkan berbagai atraksi hiburan. Kata Dugderan sendiri diambil dari kata Dug dan Der yang merupakan perpaduan bunyi bedug yang dipukul sehingga berbunyi dug...dug....dug dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan sebagai bunyi der..... Upacara Dugderan-nya sendiri biasanya dilaksanakan tepat satu hari menjelang bulan Ramadhan, namun beberapa hari biasanya satu minggu sebelumnya banyak pedagang dan berbagai atraksi hiburan sudah mulai digelar. Ciri khas dalam acara Dugderan ini adalah munculnya Warak Ngendog yang dilestarikan hingga kini. Warak Ngendog adalah jenis binatang rekaan yang bertubuh kambing dan berkepala naga dengan kulit seperti bersisik dibuat dari kertas warna-warni. Biasanya penampilan Warak Ngendhok muncul sebelum upacara Dugderan dimulai, dengan melakukan arak-arakan Warak Ngendhok dan pengantin Semarangan.

Sayang sekali saya tidak sempat melihat penampilan Warak Ngendok ini, sehingga saya tidak dapat memberikan gambaran yang lebih gamblang lagi mengenai atraksi-atraksi yang ditampilkannya. Namun saya hanya dapat memberikan sebuah alternatif perjalanan domestik yang mungkin tidak pernah masuk dalam agenda karena kurang dikenalnya Kawasan Kota Lama Semarang. Mulailah mengenal peninggalan sejarah kita bila kita ingin dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Mulailah dengan yang kecil dengan menjajagi kampung-kampung tua atau kawasan-kawasan kuno di berbagai daerah di nusantara. How do we start to conserve our heritage if we have no idea what conservation is?

Transportasi

+Lewat jalan darat, bisa menggunakan Kereta Api Argo Muria atau Kamandanu, berhenti di Stasiun Tawang yang juga merupakan Stasiun Kuno peninggalan Belanda, atau bis malam Nusantara atau Pahala Kencana berhenti di Terminal Terboyo atau Stasiun Tawang, atau dapat juga menggunakan kendaraan pribadi, kurang lebih 6 – 8 jam perjalanan

+Jika ingin perjalanan yang lebih singkat, dapat melalui jalan udara, dengan menggunakan pesawat dengan berbagai domestic airlines dari mulai Garuda Indonesia, sampai dengan Lion Air dan mendarat di Bandara Ahmad Yani

Atraksi Budaya

+Dugderan, menjelang bulan Ramadhan setiap tahunnya

+Pengantin Semarangan, disebut dengan Manten Kaji karena pria mengenakan sorban yang biasa dikenakan oleh haji. Tidak seperti pengantin Solo maupun Yogya, pada pengantin Semarangan ini keduanya mengenakan celana panjang komprang dengan payet di bagian bawahnya, sedang baju atasnya berupa baju berlengan panjang yang tertutup sampai ke leher.

+Ba’do Gablog, diselenggarakan di daerah Sodong, upacara tradisional di bulan Syawal pada hari jatuhnya ba’da kupat yaitu 6 Syawal, untuk memohon berkah dan keselamatan dengan membawa berbagai sesajen khususnya gablog yaitu ketupat nasi yang besar.

Monday, December 27, 2004

non published 01- 2004 >> Rumah Morphosis

Rumah Morphosis

Teks dan Foto: Ari Widyati Purwantiasning


Sebagai seorang arsitek, banyak hal yang dapat saya amati pada perkembangan pembangunan Negara kita ini, khususnya di kota Jakarta. Anda pasti sudah sangat terbiasa dengan munculnya berbagai macam real estate di kota Jakarta sampai dengan daerah pinggiran kota. Real estate yang disediakan untuk masyarakat urban dari mulai tipe paling sederhana sampai dengan paling mewah. Rumah-rumah yang disediakanpun biasanya tidak hanya tergantung dari disain pengembang, namun kadang dibebaskan pada sang pemilik rumah, sehingga kebanyakan akhirnya saat ini para pembeli hanya membeli kavling-kavling yang disediakan untuk kemudian dibangun sesuai dengan ide maupun selera mereka. Bagi mereka yang sudah terlanjur membeli kavling beserta rumah diatasnya, biasanya tidak akan tinggal diam hanya menghuni rumah tersebut tanpa ada perombakan-perombakan baik kecil maupun besar. Perombakan hunian real estate tersebut biasanya disebabkan oleh beberapa alasan tertentu, dari mulai meningkatnya kebutuhan ruang, selera dari penghuni yang berubah, rasa bosan dengan desain rumah yang lama, munculnya ide-ide baru serta adanya trend gaya rumah yang selalu berkembang.

Kebutuhan akan arsitek pada masa sekarang ini sudah relatif dikenal, namun profesi arsitek yang seharusnya dapat disejajarkan dengan profesi-profesi lainnya seperti dokter spesialis dan pengacara nampaknya belum banyak mendapatkan tempat di masyarakat. Masyarakat masih mengganggap kalau harga jasa seorang arsitek masih terbilang relatif sangat tinggi Sehingga masih sangat sedikit masyarakat yang menggunakan jasa arsitek dalam merencanakan dan mendisain rumah tinggal. Mereka hanya melihat dan mencontoh bentuk rumah yang sudah ada. Hal ini membuat beberapa dampak, diantaranya adalah dengan munculnya perencanaan dan perancangan rumah yang kurang tepat atau tidak efisien misalnya. Tetapi di lain pihak sudah banyak muncul rumah-rumah dengan disain yang unik dan secara estetis enak dipandang mata di dalam kawasan real estate, yang pastinya dibantu oleh seorang arsitek dalam proses perancangannya. Walaupun pada akhirnya, pemilik rumah juga berhak memberikan ide atas selera-seleranya, yang akan diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi oleh sang arsitek.

Di dalam artikel ini, saya akan coba sajikan sebuah rumah standar real estate yang ada di bilangan Bintaro Jaya Sektor 2, yang kemudian sejalan dengan perkembangan disain arsitektur berubah sedikit demi sedikit, bermorphosis sampai akhirnya menjadi gaya rumah modern. Rumah di jalan Parkit, dengan luas kurang lebih 100 meter persegi ini, awalnya merupakan rumah standar satu lantai dengan luas kurang lebih 70 m2, yang dibeli oleh pasangan muda Rommy Putranto Wibowo dan Verastiwi Scundarvanti. Dengan luas yang ada, nampaknya kebutuhan akan ruang masih relatif sangat kurang bagi mereka, mengingat sang suami merupakan eksekutif muda yang juga memerlukan ruang kerja, sehingga kamar di lantai bawah selain digunakan sebagai kamar tamu, juga dirubah menjadi ruang kerja. Dengan munculnya kebutuhan baru ini, rumah direnovasi dengan menambah dua buah kamar dan satu buah WC dengan membuat lantai dag di atasnya. Dua buah kamar baru digunakan sebagai Kamar Tidur Utama, dan Walking Closet. Masih dengan standar real estate, gaya rumah itu sendiri masih belum berubah jauh. Tampak rumah masih terlihat sama dengan rumah-rumah disamping kiri kanannya, hanya saja sudah berlantai dua.

Setelah beberapa tahun mendiami rumah tersebut, berbagai macam ide berkecamuk di kepala pasangan tersebut, terutama ide-ide dan keinginan dari sang istri, yang berselera untuk merubah gaya rumah menjadi lebih terlihat simple dan modern. Dengan berbekal majalah arsitektur dan interior dari luar negeri yang saat ini banyak dijual, Tiwi mencoba untuk merangkum ide-ide dikepalanya agar dapat diwujudkan. Beberapa kali pasangan muda ini mencoba untuk berkonsultasi dengan saya, mengenai fee arsitek, yang seperti saya sampaikan sebelumnya, bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap profesi arsitek itu relatif sangat mahal. Dan hal ini terbukti salah satunya dari tanggapan pasangan muda ini, bahwa ternyata menurut mereka sejumlah uang tersebut rasanya tidak worthy kalau harus dikeluarkan hanya untuk jasa seorang arsitek. Pada akhirnya ada beberapa solusi yang dapat disampaikan, dimana salah satunya adalah, bila anda ingin disain rumah yang indah tanpa harus mengeluarkan dana untuk jasa arsitek, anda dapat gunakan pemborong/ mandor yang memang sudah terpercaya dan terbiasa dengan disain-disain yang relatif cukup rumit, sehingga diharapkan hasil jadi dari disian tersebut juga tidak mengecewakan.

Hal tersebut dibuktikan oleh Tiwi dan Rommy, dengan budget kurang lebih 60 juta rupiah, mereka merenovasi total tampak dan image dari rumah yang ada dengan referensi dari beberapa majalah arsitektur dan interior. Dan hasilnya, memang tidak mengecewakan, sebuah rumah bergaya modern, simple, minimalism mengubah image dan tampak yang dulunya sangat standar. Bagaimana pengalaman ruang yang sudah saya alami di dalamnya, mungkin dapat saya uraikan satu persatu apa adanya.

Ketika saya memasuki rumah di jalan Parkit ini yang saat itu senja sudah mulai menyelimuti Jakarta, kesan yang dapat ditampilkan olehnya adalah transparan dan juga terbuka, apalagi saat seluruh lampu-lampu dinyalakan. Hal ini terlihat karena beberapa bidang rumah dilapisi oleh kaca bening dari atas sampai bawah, yang didalamnya dilapisi oleh krey penutup dan roman blind curtain yang selalu dibuka selama ada penghuni di dalamnya. Oleh karenanya semua isi rumah dapat terlihat dari luar, hal ini menggambarkan karakter apa adanya dan terbuka dari si penghuni rumah. Beberapa unsur kayu terlihat dikombinasikan diantara bidang-bidang kaca tersebut, yaitu adanya jendela kaca di ujung kanan dari bidang kaca. Yang unik dari jendela kaca ini adalah, tidak adanya kusen yang digunakan sebagai penyangga engsel jendela. Dan tidak hanya jendela di tampak muka itu saja, tetapi seluruh jendela dan pintu tidak menggunakan kusen, karena engselnya langsung tertancap di ring balok dan lantai, sehingga bukaan jendela dan pintu dapat dikuakkan selebar 90 derajat.

Masih berbicara di ruang terbuka, yaitu di area taman depan dan carport, beberapa elemen material yang digunakan cukup sederhana. Seperti pintu pagar, disain yang ditampilkan sangat minimalis, namun dengan keminimalisannya tersebut, justru malah memperlihatkan gaya modern. Garis-garis vertikal dan finishing cat berwarna abu-abu dari pagar menambah kesan modern dari rumah ini. Di atas carport, kanopi penutup masih menggunakan bahan, pola dan finishing cat yang sama dengan pagar. Di atas rangka besi plat, dihamparkan penutup fiberglass yang dikenal sebagai impralon. Selain itu, finishing dinding yang hanya dikamprot dengan cat berwarna abu-abu, mungkin dapat menjadi ide tambahan, karena kesan yang diberikan terasa lebih cool.

Memasuki area semi publik yaitu ruang tamu, terlihat sebuah sofa warna merah menyala menjadi eye catcher pada saat memasuki pintu utama. Sebuah cermin besar terpasang di atas sofa merah menghiasi salah satu bidang ruangan yang berhadapan dengan pintu masuk. Mungkin bagi pasangan Rommy dan Tiwi, adanya cermin yang diletakkan berhadapan dengan pintu masuk ini tidak mempunyai filosofi ataupun makna apapun selain hanya ide untuk memberikan kesan memperluas ruang tamu yang memang relatif kecil. Namun di dalam arsitektur, ada filosofi yang dikenal sebagai feng shui, beberapa orang tidak mempercayainya, namun banyak juga yang menerapkannya, karena banyak alasan-alasannya yang memang dapat diterima dengan akal. Sebagai contohnya pemasangan cermin yang berhadapan dengan pintu masuk, secara feng shui, kurang tepat, karena di dalam filosofinya cermin dapat memantulkan rejeki yang baru saja masuk ke dalam rumah melewati pintu utama, sehingga rejeki yang diterima rumah tersebut dapat tersendat. Di lain pihak secara ilmu arsitektur, cermin dapat digunakan sebagai elemen yang dapat memantulkan ruang di depannya, sehingga ruang disekitarnya terasa lebih luas, namun dengan adanya pantulan ruang-ruang di depannya, memberikan rasa tidak nyaman bagi penghuni. Hal ini dikarenakan, orang luar dapat melihat isi di dalam rumah pada saat berdiri di depan pintu utama melalui cermin yang berhadapan dengan pintu utama. Dengan kondisi seperti itu, maka privasi penghuni rumah menjadi agak terganggu, walaupun pada akhirnya hal tersebut tergantung kepada pemilik rumah, yang memang mempunyai ide rumahnya seperti show room, transparan apa adanya. Kelemahannya adalah, jika ada tamu yang datang, penghuni rumah yang sedang bersantai di ruang keluarga, memakai daster ataupun celana pendek, akan menjadi tidak nyaman saat terlihat oleh tamu tersebut melalui cermin.

Tepat di hadapan ruang tamu, terdapat tangga utama menuju ke lantai dua, yaitu ke kamar tidur utama, walking closet dan kamar mandi utama. Keberadaan tangga yang tepat berhadapan dengan sofa ruang tamu, mungkin dimaksudkan agar lebih efisien dan efektif, namun secara tata ruang, kurang tepat. Karena sifat ruang tamu yang semu publik dan tangga yang memang diperuntukkan bagi penghuni bersifat privat. Sebagai contoh misalkan ada tamu yang sedang bertandang ke rumah dan duduk di sofa, sementara itu ada penghuni lain di atas, yang ingin turun ke bawah, akan merasa kurang nyaman karena saat turun harus berhadapan dengan ruang tamu. Tetapi elemen tangga tersebut, memang mungkin didisain sedemikian rupa agar dapat menjadi eye catcher dari ruang tamu, karena material yang digunakan merupakan perpaduan dari elemen kayu dan plat besi, yang secara arsitektural terlihat indah dipandang.

Dari seluruh ruangan yang ada, beberapa elemen yang terlihat sangat dominan adalah penggunaan beberapa perabot dari IKEA. Dari mulai lampu lampion di ruang tamu, lampu gantung di ruang makan, sampai dengan tempat lilin, vas bunga dan berbagai pernak pernik lainnya. Hal ini dikarenakan sang istri senang mengkoleksi berbagai perabot dari IKEA, dimana bentuk dan modelnya sangat simple dan minimalis, sehingga dapat menunjang gaya rumah yang modern.

Dari seluruh paparan di atas, ada beberapa hal inti yang dapat saya sampaikan disini, yaitu bahwa sebuah disain rumah mungkin saja tidak harus dihasilkan oleh seorang arsitek, telah terbukti dengan sosok rumah keluarga Rommy Putranto Wibowo di bilangan Bintaro Jaya Sektor 2 ini. Namun, tetap saja dalam proses disainnya, tidak dapat melupakan berbagai filosofi arsitektural yang tentu saja hanya arsitek saja yang dapat memberikan solusinya. Untuk itu bila anda tidak ingin menyewa jasa arsitek karena fee-nya yang relatif sangat tinggi, tetap saja anda harus berkonsultasi dengan arsitek dalam proses disainnya. Banyak konsultasi gratis yang dapat diberikan arsitek, diantaranya dengan adanya rubrik-rubrik di majalah maupun tabloid mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan disain arsitektur maupun interior. Akhirnya hanya satu yang dapat saya katakan, semoga saja arsitek-arsitek di Indonesia tetap dapat berjaya walaupun masih belum banyak yang dapat menggunakan jasanya. Ironis sekali, sudah sekolah di arsitek sebegitu lamanya, kalau sampai akhirnya ilmunya tidak dapat dihargai secara menyeluruh oleh masyarakat.

Jakarta, Juli 2004

Saturday, December 25, 2004

Jurnal HIRARCHI 2004 >> Konservasi di Inggris

Sebuah Pemaparan Tentang Konsep Konservasi di Inggris

Oleh: Ari Widyati Purwantiasning

ABSTRACT:

Conservation areas which have been introduced by 1967 Civic Amenities Act, have been examined as areas of special architectural of historical interest. Furthermore, the character or appearance of which it is desirable to preserve or enhance. The preservation of areas itself which are determined by architectural and historical interest should be compatible with changes. This preservation is an examination of the whole physical composition of historic areas, including factors such as size and proportion of existing and proposed buildings, their alignments, roof-lines, detailing and so on. It is one of great difficulties with conservation in general that premises have been allowed to deteriorate because they have become uneconomic. As the margins shrink, so economies in maintenance become inevitable.

This study research has been conducted by describing a concept of conservation which has been delivered within England, UK. The research will discuss all issues about initial concept; intermediate development; and current position. At the end of discussion there will be a summary of the research.

A. KONSEP AWAL

Peraturan area konservasi telah dikenalkan di negara Inggris pada tahun 1967 yaitu tepatnya dengan dikeluarkannya the 1967 Civic Amenities Act. Di dalamnya ditulis bahwa pemerintah lokal diharuskan untuk:

……determine which parts of their area ….. areas of special architectural or historical interest, the character or appearance of which it is desirable to preserve or enhance, and shall designate such areas (hereafter referred to as conservation areas)’

Civic Amenities Act, 1967, Section 1

Pada dasarnya konsep konservasi bukanlah sebuah konsep baru, namun di berbagai hal yang terdapat di dalam the 1967 Act seolah-olah konsep tersebut merupakan konsep baru. Tahap awal yang dilakukan dalam konsep ini adalah keperdulian akan bangunan-bangunan individu, monumen ataupun artefak, yang benar-benar sangat memerlukan pelestarian. Pada beberapa kasus utama, motivasi didasari oleh kepentingan nasionalis ataupun agama yang berarti terhadap subyek tersebut (Tiesdell et al. 1994). Pevsner juga mengobservasi bahwa pada akhir abad ke sembilan belas pergerakan konsep konservasi mulai keluar sebagai aksi balik terhadap restorasi dari beberapa gereja bersejarah (Pevsner, 1976; RTPI, 1994). Hasilnya adalah sebuah 1900 Ancient Monuments Protection Act yang kemudian dapat diaplikasikan baik untuk monumen maupun bangunan-bangunan pada jaman pertengahan.

Sampai dengan tahun 1967 peraturan hanya dapat diaplikasikan pada elemen individual dari bentuk bangunan, dimana peraturan yang baru memperkenalkan ide kontrol yang didasari oleh area. Di dalamnya dinyatakan bahwa tidak hanya bangunan khusus yang memerlukan perlindungan, namun juga bagian-bagian dari elemen kota yang tercakup di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa lansekap perkotaan suatu negara mengandung suatu nilai yang dapat dilestarikan. Nilai-nilai yang dimaksud tersebut tidak harus didasari oleh kepentingan agama maupun nasionalis, namun lebih kepada kepentingan manusia yang akan memakainya. Hal ini tersirat seperti dalam sebuah kegiatan ‘designation’ dan administrasi dari area konservasi dimana tanggung jawab pelaksanaannya lebih didominasi oleh pemerintah lokal daripada pemerintah pusat. Dimana pelaksanaan tersebut disesuaikan dengan peraturan yang mengarah pada ‘listed buildings’ dan ‘schedulled monuments’.

Kekuatan untuk mengenalkan sebuah energi baru dalam pelestarian daerah penting arsitektural dan bersejarah pada elemen-elemen kota datang dari perkembangan masyarakat yang terasa tidak lagi nyaman dengan adanya perkembangan kembali setelah perang yang sangat pesat. Ian Nairn dalam artikelnya yang berjudul ‘Outrage’ dalam Architectural Review menyatakan keperduliannya pada awal 1958 dengan pernyataannya sebagai berikut:

‘the damage done by wartime destruction has been more than equalied by a ruthless post-war reconstruction. A generation’s concentration of effort on the needs for new housing, new industry and new infratsructure has led to an abrupt break in centuries-long evolution of the physical fabric of our cities.’

Nairn, 1958; Ashworth & Tunbridge, 1990, hal.1

Sementara ini Conzen mendiskripsikan bahwa kondisi fisik sebuah lingkungan dari sebuah kota akan mewakili lansekap kultural yang digunakan, dan secara gradual akan beradaptasi dengan kepentingan dan kebutuhan dari setiap generasi. Dalam hal ini setiap lapisan morfologi memperlihatkan konsep spirit dari masyarakat umumnya. Warisan elemen kota, pada dasarnya tidak hanya diperlihatkan oleh usaha para penghuni atau pemakai bangunan yang ada saat ini, tetapi juga oleh para sesepuh dalam masyarakat umum yang ada disekitarnya. Hal ini akan menimbulkan sebuah rasa keberlanjutan. Lingkungan yang dimaksud adalah ‘enables the social mind as much as that of the individual to take root in an area through the depth of time perspective and the sense of group-supported continuity which it adds to the awareness of one’s own social existence on the ground’ (Conzen, 1975).

Pesatnya proses pembersihan dan pembangunan kembali dilukiskan oleh Nairn, yang memperlihatkan perubahan yang sangat besar dalam proses morfologikal sebuah kota, sampai saat ini, hal tersebut masih saja terlihat. Kontak masyarakat dengan masa lalu dan lingkungan fisiknya secara mendadak telah berakhir.

Tidak hanya skala dan juga pesatnya perkembangan baru saja yang menyebabkan kekhawatiran, tetapi juga kondisi moral yang ada. Modernisasi merupakan gaya arsitektur yang sangat dominan saat ini yang juga sedikit diterima oleh tradisi lama ataupun tradisi bangunan lokal. Bukan karena sejak adanya evolusi dari tujuan pembangunan blok perkantoran dalam abad pertengahan 19, sehingga timbul perubahan yang signifikan dalam bentuk lingkungan binaan alami (Hughes, 1964). Bangunan-bangunan baru mengalami perubahan yang sangat besar dari para sesepuh sebelum perang, seperti yang diutarakan Zukin: ‘their structure has both a solidity and a gracefulness that suggest a time when form still identified ‘place’ rather than ‘function’. Kota akan mengikuti kepentingan yang ada dalam pembentukannya seperti yang dinyatakan oleh Le Corbusier, bahwa bentuk sudah seharusnya mengikuti fungsi, sebagai contoh adanya pedestrian karena adanya budaya berkendaraan. Karakter dan identitas lokal telah digantikan oleh berbagai elemen yang dikenal sebagai gaya internasional.

Respon pemerintah dapat didiskripsikan dalam tiga hal. Pertama, diselenggarakannya sebuah konferensi yang diketuai oleh Richard Crossman, Menteri Perumahan dan Pemerintah Lokal, pada awal 1966 dengan tujuan untuk melihat kemungkingan dibentuknya sebuah peraturan mengenai pelestarian daerah dan elemen kota bersejarah. Kedua, Menteri mendelegasikan sebuah penelitian yang melibatkan empat kota bersejarah: Bath, Chester, Chichester dan York, untuk mempelajari sampai seberapa jauh perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pusat kota bersejarahnya. Ketiga, studi penelitian yang lebih umum dilaksanakan dan hasilnya telah dipublikasikan pada tahun 1967 (setelah digulirkannya the Civic Amenities Act), dengan judul ‘Preservation and Change’, (MoHLG, 1967). Dalam laporan tersebut disarankan bahwa kondisi saat ini, setiap kota di negara Inggris akan dibangun kembali secara lengkap pada setiap lima puluh tahun, dan hal tersebut merupakan standar perubahan yang cukup pesat. Selain itu juga, disarankan bahwa tidak ada satu hal pun yang menentang perubahan, namun pelestarian kota bersejarah tetap harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan perubahan yang ada (RTPI, 1994).

Keperdulian yang meluas ke segala kalangan tersebut ditandai dengan diadakannya sebuah pesta dukungan oleh Duncan Sandy dan the Civic Amenities Act menerima sebuah Royal Assent pada tanggal 27 Juli 1967. Kepentingan khusus dari kebijakan konservasi beralih dari nasional ke lokal, begitu juga dengan segala hal yang berhubungan dengan administrasi berubah dari kepentingan arsitek dan ahli sejarah ke perencana (Ashworth and Tunbrigde, 1990). Kebijakan konservasi alami berubah menjadi meliputi seluruh area bersejarah ketimbang dari sebuah area spesifik. Hal ini dikarenakan isu konservasi sudah sebaiknya dilaksanakan secara meluas. Tidak dapat dipungkiri bahwa bila sebuah ‘townscape’ dapat dilestarikan dan ditangani dengan baik, maka hal tersebut akan berpengaruh pada baik tidaknya manajemen tata guna lahan pada kondisi sekarang maupun masa mendatang yang juga akan berpengaruh pada faktor sirkulasi, ruang-ruang publik dan juga faktor sosial ekonomi lainnya.

B. PERKEMBANGAN PERTENGAHAN

Setelah dimulainya kegiatan konservasi secara lambat pada pertengahan digulirkannya peraturan konservasi, beberapa daerah konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah lokal lambat laun bertambah secara dramatik (lihat gambar 1).

Penetapan daerah konservasi yang pertama ini memperlihatkan fokus mayoritas dari debat terhadap peraturan yang ada dimana dipertanyakan mengenai apa yang disebut sebagai kota bersejarah.

Empat buah studi percontohan memperlihatkan hal tersebut dalam subyeknya, keempat kota tersebut adalah: Bath, Chester, Chichester dan York. Namun, dukungan masyarakat yang berlebihan terhadap konservasi tidak terlihat secara nyata pada kegiatan tersebut. Persepsi Conzen akan lansekap kultural memperlihatkan tidak hanya pada keaslian jaman pertengahan namun juga townscape industrial juga mendiskripsikan karakter spesifik dari masing-masing kota. Sejak peran penetapan daerah konservasi dan manajemen ditangani oleh pemerintah lokal, definisi terhadap apa yang disebut sebagai daerah bersejarah maupun bangunan arsitektural bersejarah dirumuskan oleh setiap kepentingan masyarakat lokal.

Hal ini mungkin bukanlah apa yang telah diantisipasi sebelumnya dan keperdulian telah mulai muncul dan masih berlanjut, sampai melebihi ataupun tidak pada titik tertinggi potensial dapat dicapai. Morton menyatakan bahwa jumlah penetapan daerah konservasi yang berlanjut secara efektif akan menurunkan karakter suatu daerah dan juga akan menurunkan nilai-nilai seluruh konsep (Morton, 1991; RTPI, 1994 hal. 25). Semakin besar dan bertambahnya porsi dari jumlah peningkatan kota-kota bersejarah yang ditunjuk menjadi area konservasi, menjadikan pusat kota dari area konservasi dibuat sebagai acuan tidak terkecuali. Tidak ada lagi pertimbangan khusus bagi kota-kota berkelas elit, perencanaan konservasi menjadi sebuah gambaran standar dalam badan perencanaan pemerintah (Ashworth & Tunbridge, 1990).

Satu hal yang cukup sulit dihadapi pada kondisi meningkatnya jumlah area konservasi adalah masalah manajemen pemeliharaan gedung secara umum dan pendanaan atau biaya bagi pemeliharaan tersebut secara khusus. Peraturan telah ditetapkan sebagai respon terhadap kegiatan penataan ulang yang dirangsang karena adanya tuntutan ekonomi dan dampak setelah perang. Kebijaksanaan konservasi dirancang agar dapat menjadi hal yang paling reaktif dan ditegaskan di sini bahwa tugas dari perencana konservasi adalah untuk mengontrol dan menyalurkan permintaan-permintaan bersaing terhadap ruang di dalam kota (Ashworth & Tunbridge 1990, hal. 17). Sumber dana swasta sangat berkeinginan untuk membiayai perbaikan bangunan, selain itu pemerintah lokal mempunyai dana yang cukup untuk mendukung pemeliharaan dari area yang bersangkutan, serta bekerja keras untuk memperbaiki seluruh lingkungan publik. Dampak dari krisis ekonomi dan kejadian hancurnya kekayaan pada awal tahun 1970 tidak dapat diperkirakan.

Dalam periode yang singkat salah satu dari alasan-alasan yang tersusun di belakang peraturan area konservasi telah dimusnahkan. Keperdulian tidak lagi terfokus pada pengawasan kepentingan komersil yang bersaing tetapi terfokus pada bagaimana merangsang kepentingan tersebut. Walaupun begitu, jumlah dari penetapan area konservasi baru tidaklah menurun. Status Area Konservasi muncul untuk dapat disahkan oleh beberapa pemerintah lokal sebagai sesuatu area yang dilindungi dari kehancuran dan pengabaian bukan sesuatu obyek pengembangan atau penataan kawasan yang berlebihan. Pada dasarnya, juga terdapat kemungkinan bahwa dengan adanya perkembangan kritik-kritik terhadap program penataan ulang secara terpadu pada tahun 1950-an dan 1960-an ini, pandangan terhadap perencana-perencana menjadi sangat buruk (lihat gambar 2). Kebijaksanaan konservasi menawarkan pengesahan kembali badan perencana lokal sebagai pemenang terhadap kepentingan publik.

Hasil selanjutnya dari usaha perbaikan perekonomian adalah penghematan yang konstan terhadap pengeluaran publik. Pemasukan pemerintah lokal semakin menurun secara bertahap dan kemampuan mereka untuk membiayai beberapa rencana perbaikan dianggap signifikan telah dibatalkan.

Pemerintah pusat telah mengetahui masalah tersebut sehingga pada tahun 1972, Town and Country Planning (Amendment) Act, menggulirkan dana hibah yang terbatas untuk semua area konservasi yang ditetapkan sebagai area yang ‘outstanding’ (RTPI, 1994, hal. 33). Pada tahun 1975, digulirkan kembali dana hibah untuk membiayai proyek peningkatan kualitas bagi empat area pilot project. Bagaimanapun juga, walaupun semuanya mengikuti format dari English Heritage pada tahun 1983 dengan Rencana Kota dan Program Dana Hibah bagi Area Konservasi, dana penunjang dari negara tetap saja dibatasi. Pada akhirnya beban tersebut secara sedikit demi sedikit diberikan pada pemerintah lokal untuk membiayai program dari area konservasinya masing-masing.

Pergolakan ekonomi pada tahun 1970-an dan 1980-an menghasilkan konsolidasi komersil dan bertepatan dengan perubahan praktek bisnis. Akomodasi permintaan dalam sektor bisnis dan retail berubah dan banyak bangunan eksisting yang tidak lagi merasa memenuhi syarat-syarat baru. Hal ini menyebabkan pemerintah lokal menghadapi dilema baru. Di lain pihak, mereka telah berkomitmen untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas area kota. Sementara itu, mereka tidak mempunyai cukup modal finansial untuk melaksanakan komitmen tersebut sehingga menjadikan komitmen tersebut sebagai komitmen terbuka yang berakhir serta tidak bermaksud untuk mengecilkan investasi ekonomi yang ternilai. Satu hasil pada banyak area adalah pengendoran atas apa yang telah terjadi sebelumnya terhadap kebijakan konservasi yang keras dan perkembangbiakan beberapa daerah yang akan dikembangkan (lihat gambar 3). Facadism dan pastiche menjadi sesuatu yang umum bagi pengembang, arsitek dan perencana lokal, dimana mereka melihatnya sebagai solusi yang disepakati.

Kekhawatiran berkembang diantara para profesi arsitektural. Klaim telah dibuat bahwa Area Konservasi mengontrol kreatifitas individu sehingga dianggap mencekik dan bahwa negara telah mencabut beberapa bangunan yang dianggap generasi baru, dikaitkan dengan kebijakan perencanaan yang sifatnya terbatas. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa bila kontrol semacam itu telah diadopsi sebelumnya maka banyak bangunan yang mengacu pada pelestarian tidak akan pernah dibangun. Para pengembang juga menyuarakan keperdulian mereka terhadap birokrasi yang dibatasi pada pasar pengembangan. Dukungan pemerintah terhadap ekonomi ‘laissez faire’ selama tahun 1980-an menunjukkan tekanan lebih lanjut telah ditempatkan pada sistem perencanaan tidak untuk ikut campur dalam pasar bebas.

Keperdulian diekspresikan oleh beberapa kelompok menengah atas yang merasakan kelakuan para pemerintah lokal terhadap investasi ekonomi yang lebih dibutuhkan mempunyai dampak yang merusak pada karakter Area Konservasi masing-masing kota. Pada tahun 1992, the English Historic Towns Forum mempublikasikan sebuah laporan yang berjudul ‘Townscape in Trouble’. Laporan tersebut menggarisbawahi mengenai apa yang kelompok lihat sebagai erosi yang meningkat pada wajah elemen kota dan keterbatasan ruang-ruang di antara bangunan-bangunan. Praktek-praktek pengembangan konsep facadism, pastiche dan backland menjadi sesuatu masalah yang besar bagi para pengkritik sebagai sebuah usaha yang sinis untuk meredakan pengaruh konservasi.

Sebagai sebuah alternatif terhadap relaksasi kontrol, beberapa pemerintah lokal mencari jalan untuk mendukung pemikiran dari penggunaan kembali bangunan-bangunan yang ada yang sebelumnya menjadi sesuatu yang tidak terpakai oleh penghuni terdahulu. Hal yang paling berhasil adalah apa yang secara tradisional disebut sebagai kota-kota bersejarah yang dibangun di atas warisan budaya yang berkembang. Alternatif dasar tingkat komersil dikembangkan oleh pemerintah lokal dengan merancang kembali permintaan bersaing terhadap ruang di dalam kota untuk keperluan komersil. Dengan cara ini kebijakan konservasi yang reaktif dapat menjadi efektif kembali. Keberhasilan dari praktek-praktek tersebut pada kota-kota seperti York mempengaruhi perangai pemerintah. Perkembangan turis menjadi terlihat sebagai perangkat regenerasi yang dianggap sah dan hal itu merujuk pada kepentingan oleh pengguna lainnya atas properti daerah konservasi.

Jika permintaan yang dirasakan dari aktifitas komersil tradisional tidak lagi dilayani secara memuaskan oleh daerah konservasi dari bangunan dan lingkungan, maka pilihan komersil lainnya harus dicari.

‘Conservation means breathing life into buildings’

(DoE, 1987, para 4)

C. POSISI SEKARANG

Debat mengenai manajemen area konservasi berlanjut antara arsitek, perencana, pengembang dan kelompok elit (lihat gambar 4). Namun bagaimanapun juga, terdapat realisasi yang berangsur-angsur, bahkan diantara para pendukung terkuat, bahwa pemerintah lokal maupun pusat tidak dapat membiayai pelestarian tersebut, dan dampak-dampak terhadap daerah pusat kota yang dapat dihilangkan. Walaupun begitu, beberapa tingkat perubahan tidak dapat dihindari – proses perubahan bentuk tetap harus berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang berhasil.

‘the logic of preserving the total built environment leads ultimately to a complete halt to development and change; it fossilizes the physical fabric and structure of the city. The closer conservation came to that situation, the more evident it became that the capacity for change must itself be preserved.’

(Ashworth & Tunbridge, 1990, hal. 21)

‘there is widespread agreement that urban areas must change or they will stagnate.’

(Larkham, 1996, hal. 1)

Dalam hal ini, agenda dikembalikan pada apa yang telah direncanakan dalam ‘Preservation and Change’ (MoHLG, 1967) – perubahan dianggap perlu dan kebijakan konservasi harus cocok dengan perubahan tersebut. Peran badan perencanaan lokal tidak untuk mencegah terjadinya perubahan tetapi untuk mengelolanya secara efektif.

Pada sejumlah pemerintah lokal, status daerah konservasi terhadap pusat kota terlihat sebagai keuntungan yang positif dalam menarik investasi komersil. Banyak investor yang datang untuk melihat bahwa proporsi besar dari aktifitas komersil adalah tidak mengikat pada lokasi yang khusus tetapi lebih kepada kebebasan. Kualitas lingkungan merupakan pertimbangan yang penting dalam memutuskan suatu lokasi penunjukkan. Daerah konservasi dapat membuat perletakan batu pertama untuk memperluas program perbaikan pusat kota. Program-program ini mempunyai keuntungan ekonomi yang dapat terlihat apabila aktifitas-aktifitas tersebut dapat menarik investor secara sukses. Mereka dapat diutamakan dengan dana hibah yang terbatas yang disediakan melalui Engish Heritage untuk mengefektifkan pengukuran perbaikan yang disyaratkan dalam section 71 dari 1990 Act. Bentuk lain dari regenerasi pembiayaan pemerintah dapat juga digunakan untuk menunjang kegiatan-kegiatan pemerintah lokal.

Contoh-contoh termasuk di dalamnya daerah Lace Market di Kota Nottingham (Tiesdell et.al. 1996) – (gambar 5) dan daerah sepanjang Duke Street/ Bold Street di Kota Liverpool. Pada dua kasus penunjukkan Area Konservasi terjadi setelah adanya penurunan tingkat ekonomi pada kota tersebut dan keduanya ditampilkan untuk menonjolkan kualitas arsitektur dan sejarahnya. Selain itu juga telah disediakan pendahuluan untuk program-program detail dari regenerasi oleh dua Dewan Kota dan diberikan kepada mereka hal-hal yang dasar untuk mengklaim dana pendukung.

Di lain pihak terdapat kepentingan untuk menemukan penyesuaian kondisi ekonomi bagi daerah konservasi, karena adanya biaya untuk dana publik. Hal tersebut berangsur-angsur terlihat sebagai suatu sumber yang dapat mengembalikan investasi umum melalui daya tarik kepentingan komersil. Hasil tambahan dari antusiasme masyarakat terhadap warisan budaya ditangani secara prestise oleh sejumlah perusahaan yang berlokasi di dalam bangunan-bangunan atau area yang secara sejarah dianggap penting. Area Konservasi mempunyai nilai komersil yang positif dan tekanan terhadap kebijakan sekarang telah berubah dari kontrol menjadi kegiatan revitalisasi serta manajemen pengembangan (Tiesdell et al, 1996).

‘It is rarely argued that historic buildings have no utility or that there is no desire in the marketplace for their use. Rather that the economic value of these structures is less than the alternative.’

(Rypkema. 1992: Tiesdell et al, 1996, hal. 17)

Program revitalisasi bertujuan untuk meningkatkan nilai komersil dari properti yang ada di dalam Area Konservasi dengan mengurangi perbedaan yang ada dan alternatif-alternatif, serta dengan menekankan nilai komersil dari daya tarik area bersejarah tersebut. Tindakan yang baru-baru saja dilakukan terhadap kegiatan pembangunan berkelanjutan mungkin dapat membantu penyebab melalui keputusasaan dari pengembangan kota yang berlebihan yang sampai saat ini menampilkan alternatif yang murah dan fleksibel pada lokasi pusat kota.

Kebijakan pemerintah mendukung kegiatan revitalisasi melalui tekanan pada kepentingan untuk melaksanakan penilaian karakter, merencanakan pengukuran perbaikan dan mendorong adanya alternatif fungsi (PPG 15, 1994). Peranan English Heritage juga telah berubah selama beberapa tahun ini dengan mengganti penyediaan dana hibah dasar dengan bantuan perbaikan bangunan serta program perbaikan yang terbatas, menjadi pendukung positif terhadap kegiatan regenerasi kota. Tahun 1998 menunjukkan tahap pertama dari skema dana hibah tambahan untuk kegiatan konservasi – regenerasi yang disediakan oleh English Heritage bersama dengan National Lotteries Heritage Board.

‘Conservation can provide the catalyst for the sustainable regeneration of whole areas by adapting familiar and cherished old buildings to new uses.’

(English Heritage, 1998)

Saat ini dapat dirasakan bahwa adaptasi semacam itu seharusnya tidak hanya melihat melalui kesulitan yang dilihat secara cepat dimana kegiatan tourism secara potensial dihubungkan dengan penggunaannya. Bagaimanapun juga, promosi dari tourism sebagai alat utama dari kegiatan regenerasi urban telah menetapkan argumen selanjutnya, yaitu dengan menciptakan sebuah budaya Disneyland (Lord Rogers). Ada kepedulian yang menyatakan bahwa antusiasme bangsa untuk warisan budaya - dicontohkan oleh Walikota Pemerintah Departemen Warisan Budaya Nasional, yang menutup negara kedalam keadaan yang mencekik, melihat kondisi ke belakang dari warisan budaya. Porsi yang besar dari kota-kota di Inggris tidak lagi merupakan suatu hasil pekerjaan dari townscape, tetapi lebih kepada suatu pengalaman historical. Bila sebelumnya telah didebatkan bahwa saat ini sedang mendekati titik ke arah Area Konservasi, maka secara pasti saat ini telah mencapai titik ke arah museum.

Tidak semua bangunan-bangunan ataupun area yang dilestarikan dapat digunakan oleh para turis yang berkaitan dengan industri. Selanjutnya secara lebih spesifik, penggunaan semacam itu diaplikasikan pada pusat Area Konservasi kota yang mempunyai implikasi mendasar terhadap fungsi kota dari hari ke hari. Terdapat sebuah hambatan dimana bila antusiasme terhadap kegiatan tourism sebagai solusi masalah ekonomi dari Area Konservasi timbul, maka konservasi dan warisan budaya akan menjadi jalinan yang tidak dapat ditarik kembali. Prinsip dari pembangunan berkelanjutan adalah dengan menyarankan adanya alternatif-alternatif. Konversi bangunan-bangunan pusat kota menjadi akomodasi sebagai hunian saat ini sangat umum pada beberapa area perkotaan. Hal ini seperti tourisme adalah merupakan fungsi baru yang potensial, namun tidak harus terlihat sebagai sesuatu yang menjadi satu-satunya pilihan gairah.

Kebijakan konservasi dimulai dengan mengandalkan atas kontrol dan menjadi lebih proaktif. Pada kenyataannya kebijakan konservasi tersebut setelah memulai dengan kedua kondisi tersebut menjadi lebih meluas secara nasional dan hal ini akan terlihat sebagai hasil dari kondisi alami lokal dari peraturan Area Konservasi. Pihak perencana lokal mengatur Area Konservasi dibawah wewenang mereka dengan cara yang berbeda-beda untuk merefleksikan prioritas lokal. Namun prioritas dari mayoritas terbesar tidak lagi pada kebijakan namun pada manajemen.

D. RANGKUMAN

Penelitian terhadap berbagai literatur yang cakupannya relatif luas menyatakan bahwa tiidak ada hal yang lebih khusus telah ditulis mengenai hubungan antara aktifitas komersil dan area konservasi pusat kota. Informasi yang dirasa sangat sedikit dan terbatas tersebut menyatakan bahwa perencanaan konservasi memberikan pertimbangan langsung yang sedikit pada keberadaan hubungan tersebut. Bagaimanapun juga, banyak referensi dibuat berkaitan dengan masalah-masalah komersil dalam tulisan yang relatif umum dan pengaruhnya terhadap evolusi kebijakan konservasi dan prakteknya menjadi lebih jelas.

Pendahuluan dari peraturan Area Konservasi di dalam the 1967 Civic Amenities Act sebagian memaparkan mengenai reaksi kondisi ekonomi yang ringan dari era paska perang dan tingkat yang dramatik dari hasil proses redevelopment. Peraturan tersebut tidak memberikan petunjuk dan berisi mengenai kekuasaan serta tanggung jawab yang dititikberatkan pada pemerintah lokal dari pada pemerintah pusat. Pengalihan dari kontrol administrasi secara nasional ke lokal dilakukan karena dikaitkan dengan kebutuhan kondisi lokal. Di lain pihak pada saat yang sama, justru hal ini dianggap sebagai suatu kelemahan yang potensial (Molson, 1969: RTPI,1994), telah dibangun sebuah elemen yang fleksibel ke dalam sistem untuk mengambil aksi bagi berbagai kondisi yang bervariasi dan reaksi terhadap masalah lokal yang khusus. Area khusus daerah penunjukkan tidak dapat dihindarkan telah terikat erat pada perencanaan daerah pusat konservasi sebagai suatu perencanaan kota secara keseluruhan bukan hanya area bagian-bagian saja.

Walaupun susunan kata pada peraturan tersebut menyimpulkan bahwa perubahan sangat diharapkan dalam area penunjukkan ini,’ ....... the character or appearance of which it is desirable to preserve or enhance.....’ (1967 Act), namun tindakan awal sangat didasari atas kegiatan preservasi. Kebijakan-kebijakan yang ada dirancang untuk menjadi reaktif dan dapat digunakan secara luas dalam cara yang negatif untuk membendung beberapa tekanan pembangunan untuk membangun kembali area pusat kota. Tetapi saat ini, hilangnya tekanan-tekanan tersebut dan turunnya tingkat perekonomian yang berpengalaman dengan proporsi yang besar dari area-area kota, membuat munculnya kebijakan-kebijakan yang lebih proaktif. Pertimbangan perekonomian seperti itu mungkin dapat ditunjukkan sebagai renungan wajib dengan peristiwa global dan nasional, namun merespon pada dampak lokal individu dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Preservasi yang sesungguhnya, dalam pengertian tradisional, tidak dapat dicapai; sebagai sesuatu yang secara tidak langsung dinyatakan tidak hanya mempertahankan bentuk bangunan tetapi juga struktur sosial ekonomi dari sebuah area. Kenyataannya adalah bahwa seperti layaknya anak kecil yang tumbuh besar sampai bajunya kekecilan, begitu juga dengan bangunan-bangunan dan lingkungannya yang menjadi tidak layak lagi untuk kebutuhan-kebutuhan aktifitas komersil pada jaman itu. Kebijakan didasari secara sederhana oleh aktifitas preservasi yang meremehkan adaptasi dari kondisi fisik infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan perubahan, serta, kemudian mendorong pencarian akan alternatif-alternatif yang lebih diperlukan. Meningkatnya kebijakan-kebijakan proaktif yang umum selain membuat Area Konservasi lebih atraktif terhadap pengguna potensial dan eksisting; juga mencari untuk mengusulkan aktifitas-aktifitas alternatif.

Kesesuaian dari the 1967 Act muncul dalam perwujudannya sekarang, the Planning (Listed Buildings and Conservation Areas) Act 1990. Kebijakan ditinggalkan terbuka sebagai penafsiran bagi badan perencana. Bahkan panduan kebijakan pemerintah terpapar dalam PPG 15 menghindari hal-hal khusus. Tipe-tipe dari kebijakan yang digunakan oleh satu pemerintah lokal dibandingkan dengan yang lainnya mungkin sangat berbeda – di satu pihak reaktif dan dipihak lain proaktif. Selama status Area Konservasi tidak memberikan kebijakan-kebijakan yang dibakukan dalam satu set secara seragam, maka keputusan apapun atas dampak tersebut harus merupakan penyamarataan yang luas.

Untuk menyatakan bahwa status konservasi mempunyai dampak negatif atas aktifitas komersil tidak hanya merupakan penyamarataan umum, tetapi juga lebih pada ketidakpedulian pada kondisi dimana status Area Konservasi digunakan sebagai komponen yang positif dari kegiatan perbaikan yang lebih luas. Masalah aktifitas komersil juga hampir diperluas. Bentuk pasti yang tidak dapat diragukan lagi dari aktifitas komersil dapat melihat ketat kontrol konservasi sebagai sebuah halangan; terhadap hal lainnya, seperti tourisme dikaitkan dengan industrialisasi, yang kemungkinan dipandang sebagai keuntungan.

Variasi di dalam sistem Area Konservasi di negara Inggris membuatnya makin sulit untuk memutuskan segala hal dengan pasti. Namun bagaimanapun juga, hal tersebut juga mungkin terjadi untuk memutuskan dampak dari status Area Konservasi terhadap aktifitas komersil di dalam area pusat kota. Kesimpulan tersebut merupakan penyamarataan yang sederhana dimana terdapat dampak yang positif maupun negatif tergantung kondisi yang ada.

KAJIAN LITERATUR


Anon (1998) Glam of the New Hides Potential of the Old, dalam Building Design, 19 Juni 1998, hal.11.

Anon (1997) Memories of Chester, Halifax: Great North Books. Ashworth GJ &
Tunbridge JE (1990) The Tourist-Historic City, London: Belhaven Press.

Bateson K (1998) Report Attacks Urban Policies, dalam Building Design, 20
November 1998.

Bruton M & Nicholson D (1987) Local Planning in Practice, London: Hutchinson
Hughes,Q (1984) Seaport, Liverpool: The Bluecoat Press.

Clark, K (1998) Prioritising Places, Planning: 29 Mei 1998.

Conzen MRG (1975) Geography and Townscape Conservation, dalam Geissner
Geographische Schiften 1975, Glessen: Lenz-Verlag.

Department of the Environment (1987) Circular 8/87: Conservation Areas, London:
HMSO

Department of the Environment & Department of National Heritage (1994) PPG 15:
Planning and the Historic Environment, London: the Stationery Office.

Department of the Environment (1987) Policy and Practice, Circular 8/87- Historic
Buildings and Conservation Areas, London:HMSO

Donaldsons (1994), Mixed Use Development in Historic Towns, Bath: English
Historic Towns Forum.

English Heritage (1998) Conservation-led Regeneration - the Work of English
Heritage, London: English Heritage.

English Historic Town Forum (1992) Townscape in Trouble, Bath: English Historic
Town Forum.

Fairs M (1998) Three Richards Attack Needless Conservation, dalam Building
Design, 14 Oktober 1998, hal. 4.

Greed C (1993), Introducing Town Planning, London: Longman.

Harvey, D (1989), The Condition of Postmodernity. Chapter 4: Postmodernism in
The City: Architecture and Urban Design.

Jones, AN & Larkham, PJ (1993), The Character of Conservation Areas, Report
commisioned from Plan Local for the Conservation and Built Environment
Panel, London: Royal Town Planning Institute.

Larkham, PJ (1996), Conservation and the City, London: Routledge.

Larkham, PJ & Jones A (1993), Conservation and Conservation Areas in the UK:
A Growing Problem, dalam Planning Practice and Research, Volume 8 (2),
April, Hal. 19-29.

Morton, D (1998) Conservation: Quality Not Quantity? Planning, 20 November
1998.

Ross, M (1995), Planning and Heritage: Policy and Practice, London: Spon,
Second Edition.

Royal Town Planning Institute (1994), The Character of Conservation
Areas
, A Commissioned Study, London: RTPI.

Royal Institution of Chartered Surveyors and English Heritage, (1993), The
Investment Performance of Listed Buildings, London: RICS dan English
Heritage.

The Scottish Office, Resource for Urban Design Information Website,
Http://rudi.herts.ac.uk.

Tuesday, December 21, 2004

a+ september 2004 >> +Fazio

Fazio: Menuju Lawatan Masa Depan

Teks: Ari Widyati Purwantiasning
Dipublikasikan di majalah a+ september 2004

Saat pertama kali saya menginjakkan kaki ke gedung Entertainment X’nter, hanya sekedar untuk windows shopping, saya melihat satu gerai di lantai dasar yang mencolok dengan bidang vertikal warna merahnya. Bidang tersebut bertuliskan FAZIO membentang dari
bawah ke atas. Pada waktu itu entah mengapa tetapi eye cacther yang diberikan, membawa imajinasi tersendiri di dalam kepala saya. Yang terbersit saat itu Fazio adalah sebuah café. Saya sendiri juga tidak memperhatikan sampai detail, melihat ke dalam ruangan melalui bidang transparan dari façade. Saya hanya berpikir dan menyimpulkannya secara sederhana karena pada lantai yang sama, Fazio terderet dengan beberapa gerai café dan bakery.

Saat kedua kalinya saya melewati Fazio, baru selintas saya melihat adanya billboard produk komestik. Bersamaan dengan itu saya coba untuk melongok ke dalam di balik kaca façade, dan barulah saya menyadari bahwa Fazio adalah sebuah salon kecantikan, karena adanya deretan kursi-kursi dan cermin-cermin berbentuk bundar yang tertempel pada bidang transparan di hadapannya. Dan hal ini diyakinkan beberapa minggu kemudian saat saya diminta Anggoro menulis artikel tentang salon kecantikan Fazio untuk kolom pondasi.

Fiuh, akhirnya saya punya kesempatan juga untuk menyelesaikan artikel ini dengan deadlinethanks a lot to Anggoro, :P. yang diberikan, Saya sempat juga agak clueless, saat diberi tugas ini dengan hanya diberikan beberapa lembar foto interior Fazio. Sementara itu saya harus menuangkan pengalaman ruang saya di atas beberapa lembar kertas. Beberapa kali saya coba hubungi contact person di Fazio, dan akhirnya saya berhasil menemui pihak manajemennya untuk sedikit mengobrol tentang konsep Fazio.

Berdasarkan penuturan Harris Turino, Fazio didirikan bersamaan dengan dibukanya gedung Entertainment X’nter pada bulan Februari 2004. Fazio merupakan pengembangan dari salon Kleo milik Susy Turino dan Pieter Christ yang berlokasi di Melawai, dimana orientasi pasarnya sedikit berbeda dengan Kleo. Fazio lebih menekankan pada pasar remaja usia 17 tahun ke atas, para eksekutif muda dan selebritis, namun tidak menutup kemungkinan juga bagi para wanita dewasa yang berani tampil beda menjadi trendsetter untuk gaya rambut kawula muda. Tidak heran bila konsep yang disajikan pada atmosfer interiornya dapat mewakili jiwa remaja yang dynamic dan energic.

Dengan mempercayakan disain interiornya pada sebuah konsultan interior, Fazio didisain dengan mengambil tema modern, minimalis dan futuristik. Konsep ini dipilih sesuai dengan kata Fazio sendiri yang berasal dari kata Fashionette yang mengutamakan perkembangan fashion. Mungkin akan lebih terbayang bagaimana suasana di dalamnya bila saya ungkapkan satu persatu pengalaman ruang yang saya rasakan.

Seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, ketika saya mulai memasuki Fazio, terdapat eyecatcher berupa bidang vertikal berwarna merah dengan tulisan Fazio berukuran relatif besar berwarna orange membentang dari bawah ke atas. Sementara itu di sebelahnya terdapat pintu masuk utama yang agak tersamar di antara bidang transparan pada façade depan, karena bentuk handle pintunya yang tidak cukup jelas terlihat mata. Di atas pintu masuk terdapat sebuah bidang menonjol keluar selebar dengan pintu masuk utama dilengkapi dengan moving segn welcome yang menampilkan berbagai events yang sedang berlangsung di Fazio. Bidang menonjol tersebut seolah-olah berfungsi sebagai kanopi bagi main entrance seperti layaknya sebuah bangunan. Bergeser ke sebelah kiri dari pintu masuk, di atas bidang transparan kaca, terpasang beberapa unsur bidang horisontal yang berukuran seperti balok-balok kayu membujur dari dalam ruangan menembus kaca keluar. Keenam jajaran balok tersebut berwarna merah yang ditata berderet, seolah-olah berperan sebagai asesoris façade yang memancarkan cahaya dari sinar lampu halogen di dalamnya. Sinar halogen tersebut akan memancar menyinari bidang transparan kaca.

Melangkah dan memasuki pintu utama, saya telah berada di dalam ruangan salon yang terasa berbeda atmosfernya dengan salon-salon yang pernah saya kunjungi. Kesan futuristiknya muncul pada setiap bidang di dalam ruangan. Seluruh ruangan secara hirarki terbagi menjadi tiga daerah utama. Daerah pertama yang saya pijak adalah ruang semi publik, yang digunakan sebagai ruang tunggu tamu, resepsionis dan kasir. Ruang tunggu yang ada dilengkapi dengan sebuah sofa berbentuk seperti rangkaian bantal-bantal bundar berwarna merah. Ketika saya mencoba untuk merasakan duduk di atas sofa tersebut, sepertinya kok tidak nyaman sekali, tetapi saya cukup mengerti dengan tujuan disediakan sofa tersebut. Karena pasti sang pemilik mencoba meletakkan sofa tak nyaman itu agar para tamu tidak berlama-lama duduk di sana. Seandainya saja sofa itu cukup nyaman diduduki, tidak saja banyak tamu yang betah duduk dan tidak segera beranjak, sehingga tamu yang datang akhirnya tujuannya tidak hanya untuk keperluan mempercantik diri, tetapi untuk bermalas-malasan duduk di sofa tersebut. Sementara itu pada bagian kasir, terdapat penebalan dinding yang diberikan sentuhan warna merah menyala. Keberadaan penebalan dinding tersebut semakin terlihat saat empat buah lampu halogen mulai memancar dari atas. Yang lebih unik lagi, meja counter digantung dari plafond atas, seakan-akan ada benda dari langit yang jatuh ke bawah. Di atas meja counter dipasang tiga buah track lampu sorot membentuk bidang segitiga yang juga tergantung dari plafond, masing-masing track terdiri dari tiga buah lampu sorot yang memancarkan sinar ke arah meja counter.

Tepat di depan sofa merah terbentang lembaran vitrage yang digantung dari atas menjuntai ke lantai. Vitrage ini membatasi ruang semi publik ke ruang privat yang merupakan ruang utama salon, dimana para customer siap untuk dilayani sesuai dengan pilihan jasa yang disediakan. Vitrage yang bersifat semi transparan tersebut juga dimaksudkan agar ruangan tidak terkesan tertutup sehingga dapat menimbulkan perasaan terkungkung tak nyaman bagi customer. Dari ruang tunggu, isi di dalam ruang privat yang menampung kegiatan utama dapat terlihat secara samar. Selain sebagai pembatas ruangan, vitrage juga difungsikan sebagai layar proyeksi dari sinar yang dipancarkan proyektor yang diletakkan di atas pintu masuk. Dari proyektor ini ditayangkan berbagai sajian events yang dapat dinikmati oleh customer yang sedang berada di ruang tunggu maupun customer yang berada di dalam ruang utama melalui pantulan dari cermin di hadapan mereka. Selain itu sajian pada lembaran vitrage juga dapat terlihat dari luar salon, dimana pengunjung Entertainment X’nter yang kebetulan sedang melewati Fazio dapat melihat sajian tersebut melalui kaca transparan façade.

Suasana futuristik lebih terasa, saat saya mulai melangkah ke dalam yang merupakan daerah privat. Beberapa cermin tergantung pada bagian tengah ruangan seolah-olah bagaikan sebuah galaksi tersendiri. Cermin bundar tersebut tergantung dari plafond ruangan dengan menggunakan besi metal yang dapat ditarik naik turun sesuai dengan keinginan. Di hadapan cermin-cermin tersebut terdapat kursi-kursi bagi customer, dan dua kursi bagi customer yang sedang menunggu giliran. Pada bagian atas dari tengah ruangan ini, terdapat drop ceiling berbentuk elips yang sepertinya terbuat dari stainless steel. Di sepanjang drop ceiling ini terpancar sinar yang dikeluarkan dari lampu halogen yang melingkar mengikuti bentuk elips drop ceiling. Sementara itu pada bagian dalam dan luar drop ceiling plafond dibiarkan terbuka, dengan mengekspos beberapa ducting AC dan juga pipa-pipa plumbing. Seluruh instalasi tersebut dibuat menjadi lebih menarik dengan memberikan finishing cat warna hitam pada seluruh pipa maupun permukaaan dag betonnya. Dengan adanya warna hitam tersebut, maka keberadaan drop ceiling di tengah ruangan yang berbentuk seperti cincin elips muncul lebih dominan.

Beralih pada bagian lantainya, lantai bagian dalam mengikuti bentuk elips seperti pada bagian plafond. Permukaan lantai di bagian tengah ruangan, diberikan lapisan tile berbentuk polkadot berwarna putih. Saya pikir tadinya polkadot tersebut adalah kancing-kancing baju yang ditanam di lantai, karena memang bentuk, ukuran dan warnanya mirip sekali dengan kancing baju, seandainya benar, berapa kilogram kancing yang ditanam di lantai tersebut? Wow! Luar biasa idenya! Peluran lantai berwarna abu-abu pada sekitar lantai elips tersebut, mendukung suasana minimalis dan futuristik dari salon Fazio. Peralihan material yang digunakan pada lantai juga terlihat harmonis.

Kedua mata saya alihkan pada bidang kiri dan kanan dari salon Fazio. Sesaat dalam benak sempat terucap fantastic juga ide yang diberikan oleh sang disainer interior mengingat pada kedua bidang seperti terlihat adanya bidang transparan dimana didalam dindingnya dipasang serangkaian pipa-pipa berdiri vertikal yang berderet dari mulai cermin pertama sampai pada cermin keenam. Di dalam dinding transparan tersebut juga dipasang lampu-lampu sehingga tekstur dan bentuk dari jajaran pipa tersebut terlihat dari dalam ruangan. Namun nampaknya imajinasi saya harus hilang, karena ternyata pada kedua bidang dinding kiri dan kanan ruangan privat tersebut dipasangkan hologram wallpaper bercorak garis-garis vertikal seperti pipa yang seolah-olah memperlihatkan pipa-pipa seperti yang terbayang dalam benak saya awal tadi. Sementara itu cahaya yang memancar dari kertas hologram tersebut terpancar dari cahaya neon yang berasal dari balik cermin yang memancar ke bidang tersebut. Dari bidang berhologram tersebut, terdapat enam buah kaca cermin masing-masing pada sisi kanan dan kiri, yang ditempelkan pada bidang kaca yang menonjol keluar seukuran dengan cerminnya. Kaca tersebut menerus dari lantai sampai dengan atas yaitu menyambung pada plafond stainless steel yang berbentuk elips di tengah ruangan. Di balik lembaran kaca-kaca tersebut digantung lampu-lampu gantung dari plafond yang berwarna hitam, sehingga nampak seperti bintang-bintang di langit.

Yang membuat saya berdecak kagum, pelayanan dari salon ini nampaknya memang diberikan semaksimal mungkin bagi para customer. Biasanya di salon-salon lain, hanya beberapa majalah lifestyle dan fashion saja yang tertumpuk di beberapa sudut untuk mengobati rasa bosan dari pelanggan yang sedang dilayani. Tetapi berbeda dengan Fazio, selain beberapa majalah yang terlihat tertumpuk, pada setiap cermin di hadapan pelanggan, di bagian bawah cermin dilengkapi dengan Liquid Crystal Display atau lebih dikenal sebagai LCD yang dapat dinikmati setiap orang dari mulai melihat video sampai dengan acara televisi. Pada setiap LCD juga dilengkapi dengan earphone. Salon tercanggih yang pernah saya kunjungi.

Sama dengan daerah semi publik dan privat yang dibatasi dengan lembaran vitrage, pada bagian belakang ruangan, dimana terdapat daerah servis, juga terbentang selembar vitrage yang tergantung memisahkan ruang privat dengan ruang servis. Masih dengan sifatnya yang semi transparan, dari ruang privat kegiatan di ruang servis dapat terlihat secara samar-samar. Pada daerah servis ini terdapat beberapa buah fasilitas untuk mencuci rambut yang diperuntukkan bagi customer sebelum melangkah pada tahap inti perawatan. Untuk melangkah ke daerah servis, terdapat perbedaan ketinggian lantai yang cukup berarti untuk membedakan hirarki dari ruang privat ke ruang servis. Lantai dari ruang servis inipun berbeda, tidak menggunakan finishing lantai pada umumnya, tetapi menggunakan lantai semi transparan yang terbuat dari kaca sunblasting di mana dari bawah kaca tersebut dibuat rangkaian pencahayaan yang sinarnya akan keluar melalui permukaan kaca guna menerangi ruang servis. Sementara itu bagian atas ruangan tidak terdapat satu titik cahayapun, karena cahaya yang keluar dari lantai sudah cukup memadai dalam menerangi kegiatan yang berlangsung di ruang ini. Bagian plafond, dibuat pola garis-garis seperti balok-balok beton yang berjajar dan diberi warna putih. Di belakang jajaran tempat cuci, menempel pada dinding belakang ruangan beberapa lemari built in yang berwarna abu-abu dan berbentuk seperti kapsul. Di dalam lemari kapsul itulah disimpan seluruh perlengkapan cuci. Sementara pada bagian kiri, kanan, dan bawah lemari terdapat beberapa lempeng kayu berbentuk bulatan berwarna abu-abu yang ditempel pada dinding yang berfungsi sebagai asesoris pemanis bidang dinding yang kosong.

Masih di dalam daerah servis, ada dua buah ruangan penunjang yang terdapat di sudut kiri dan kanan ruangan. Ruang pada sudut kanan berfungsi sebagai ruang penyimpan obat-obatan dan juga janitor, sementara ruang pada sudut kiri berfungsi sebagai dapur bersih/ pantry dan juga ruang duduk yang digunakan oleh karyawan Fazio.

Rasanya cukup puas juga pengalaman ruang yang saya alami di Fazio. Pengalaman ruang berbeda yang menurut saya konsep yang diinginkan oleh pemilik yaitu minimalis, modern dan futuristik sangat terasa di dalamnya. Suasana energic dan dynamic dari Fazio juga dapat mewakili keinginan dari pemilik.

Dari ungkapan pengalaman ruang di atas, pasti anda semua ingin segera berkunjung ke Fazio. Saya yakinkan pada anda bahwa dengan budget antara 100 sampai dengan 300 ribu rupiah, anda semua tidak akan merasa rugi menikmati pelayanan yang diberikan oleh Fazio dengan beberapa penata rambutnya. Apakah anda ingin merasakan bagaimana rambut anda ditata oleh penata rambut dari Singapore? Anda tidak akan kecewa dengan sentuhan tangan Vivian Kuit di Fazio. Atau mungkin juga anda dapat bertemu dengan penata rambut tamu yaitu Pieter Christ, Susy Turino ataupun Wim Soeitoe yang juga merupakan pendiri salon Kleo dan juga pemilik Fazio? Jangan sungkan-sungkan untuk mampir ke Fazio di lantai dasar gedung Entertainment X’nter, dimana di dalamnya anda dapat menikmati the distinctive ambiance dari suasana Fazio yang serba hightech. Saya yakin anda akan merasakan bedanya bila berada di dalam Fazio.


Jakarta
, Agustus 2004