Saturday, December 25, 2004

Jurnal HIRARCHI 2004 >> Konservasi di Inggris

Sebuah Pemaparan Tentang Konsep Konservasi di Inggris

Oleh: Ari Widyati Purwantiasning

ABSTRACT:

Conservation areas which have been introduced by 1967 Civic Amenities Act, have been examined as areas of special architectural of historical interest. Furthermore, the character or appearance of which it is desirable to preserve or enhance. The preservation of areas itself which are determined by architectural and historical interest should be compatible with changes. This preservation is an examination of the whole physical composition of historic areas, including factors such as size and proportion of existing and proposed buildings, their alignments, roof-lines, detailing and so on. It is one of great difficulties with conservation in general that premises have been allowed to deteriorate because they have become uneconomic. As the margins shrink, so economies in maintenance become inevitable.

This study research has been conducted by describing a concept of conservation which has been delivered within England, UK. The research will discuss all issues about initial concept; intermediate development; and current position. At the end of discussion there will be a summary of the research.

A. KONSEP AWAL

Peraturan area konservasi telah dikenalkan di negara Inggris pada tahun 1967 yaitu tepatnya dengan dikeluarkannya the 1967 Civic Amenities Act. Di dalamnya ditulis bahwa pemerintah lokal diharuskan untuk:

……determine which parts of their area ….. areas of special architectural or historical interest, the character or appearance of which it is desirable to preserve or enhance, and shall designate such areas (hereafter referred to as conservation areas)’

Civic Amenities Act, 1967, Section 1

Pada dasarnya konsep konservasi bukanlah sebuah konsep baru, namun di berbagai hal yang terdapat di dalam the 1967 Act seolah-olah konsep tersebut merupakan konsep baru. Tahap awal yang dilakukan dalam konsep ini adalah keperdulian akan bangunan-bangunan individu, monumen ataupun artefak, yang benar-benar sangat memerlukan pelestarian. Pada beberapa kasus utama, motivasi didasari oleh kepentingan nasionalis ataupun agama yang berarti terhadap subyek tersebut (Tiesdell et al. 1994). Pevsner juga mengobservasi bahwa pada akhir abad ke sembilan belas pergerakan konsep konservasi mulai keluar sebagai aksi balik terhadap restorasi dari beberapa gereja bersejarah (Pevsner, 1976; RTPI, 1994). Hasilnya adalah sebuah 1900 Ancient Monuments Protection Act yang kemudian dapat diaplikasikan baik untuk monumen maupun bangunan-bangunan pada jaman pertengahan.

Sampai dengan tahun 1967 peraturan hanya dapat diaplikasikan pada elemen individual dari bentuk bangunan, dimana peraturan yang baru memperkenalkan ide kontrol yang didasari oleh area. Di dalamnya dinyatakan bahwa tidak hanya bangunan khusus yang memerlukan perlindungan, namun juga bagian-bagian dari elemen kota yang tercakup di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa lansekap perkotaan suatu negara mengandung suatu nilai yang dapat dilestarikan. Nilai-nilai yang dimaksud tersebut tidak harus didasari oleh kepentingan agama maupun nasionalis, namun lebih kepada kepentingan manusia yang akan memakainya. Hal ini tersirat seperti dalam sebuah kegiatan ‘designation’ dan administrasi dari area konservasi dimana tanggung jawab pelaksanaannya lebih didominasi oleh pemerintah lokal daripada pemerintah pusat. Dimana pelaksanaan tersebut disesuaikan dengan peraturan yang mengarah pada ‘listed buildings’ dan ‘schedulled monuments’.

Kekuatan untuk mengenalkan sebuah energi baru dalam pelestarian daerah penting arsitektural dan bersejarah pada elemen-elemen kota datang dari perkembangan masyarakat yang terasa tidak lagi nyaman dengan adanya perkembangan kembali setelah perang yang sangat pesat. Ian Nairn dalam artikelnya yang berjudul ‘Outrage’ dalam Architectural Review menyatakan keperduliannya pada awal 1958 dengan pernyataannya sebagai berikut:

‘the damage done by wartime destruction has been more than equalied by a ruthless post-war reconstruction. A generation’s concentration of effort on the needs for new housing, new industry and new infratsructure has led to an abrupt break in centuries-long evolution of the physical fabric of our cities.’

Nairn, 1958; Ashworth & Tunbridge, 1990, hal.1

Sementara ini Conzen mendiskripsikan bahwa kondisi fisik sebuah lingkungan dari sebuah kota akan mewakili lansekap kultural yang digunakan, dan secara gradual akan beradaptasi dengan kepentingan dan kebutuhan dari setiap generasi. Dalam hal ini setiap lapisan morfologi memperlihatkan konsep spirit dari masyarakat umumnya. Warisan elemen kota, pada dasarnya tidak hanya diperlihatkan oleh usaha para penghuni atau pemakai bangunan yang ada saat ini, tetapi juga oleh para sesepuh dalam masyarakat umum yang ada disekitarnya. Hal ini akan menimbulkan sebuah rasa keberlanjutan. Lingkungan yang dimaksud adalah ‘enables the social mind as much as that of the individual to take root in an area through the depth of time perspective and the sense of group-supported continuity which it adds to the awareness of one’s own social existence on the ground’ (Conzen, 1975).

Pesatnya proses pembersihan dan pembangunan kembali dilukiskan oleh Nairn, yang memperlihatkan perubahan yang sangat besar dalam proses morfologikal sebuah kota, sampai saat ini, hal tersebut masih saja terlihat. Kontak masyarakat dengan masa lalu dan lingkungan fisiknya secara mendadak telah berakhir.

Tidak hanya skala dan juga pesatnya perkembangan baru saja yang menyebabkan kekhawatiran, tetapi juga kondisi moral yang ada. Modernisasi merupakan gaya arsitektur yang sangat dominan saat ini yang juga sedikit diterima oleh tradisi lama ataupun tradisi bangunan lokal. Bukan karena sejak adanya evolusi dari tujuan pembangunan blok perkantoran dalam abad pertengahan 19, sehingga timbul perubahan yang signifikan dalam bentuk lingkungan binaan alami (Hughes, 1964). Bangunan-bangunan baru mengalami perubahan yang sangat besar dari para sesepuh sebelum perang, seperti yang diutarakan Zukin: ‘their structure has both a solidity and a gracefulness that suggest a time when form still identified ‘place’ rather than ‘function’. Kota akan mengikuti kepentingan yang ada dalam pembentukannya seperti yang dinyatakan oleh Le Corbusier, bahwa bentuk sudah seharusnya mengikuti fungsi, sebagai contoh adanya pedestrian karena adanya budaya berkendaraan. Karakter dan identitas lokal telah digantikan oleh berbagai elemen yang dikenal sebagai gaya internasional.

Respon pemerintah dapat didiskripsikan dalam tiga hal. Pertama, diselenggarakannya sebuah konferensi yang diketuai oleh Richard Crossman, Menteri Perumahan dan Pemerintah Lokal, pada awal 1966 dengan tujuan untuk melihat kemungkingan dibentuknya sebuah peraturan mengenai pelestarian daerah dan elemen kota bersejarah. Kedua, Menteri mendelegasikan sebuah penelitian yang melibatkan empat kota bersejarah: Bath, Chester, Chichester dan York, untuk mempelajari sampai seberapa jauh perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pusat kota bersejarahnya. Ketiga, studi penelitian yang lebih umum dilaksanakan dan hasilnya telah dipublikasikan pada tahun 1967 (setelah digulirkannya the Civic Amenities Act), dengan judul ‘Preservation and Change’, (MoHLG, 1967). Dalam laporan tersebut disarankan bahwa kondisi saat ini, setiap kota di negara Inggris akan dibangun kembali secara lengkap pada setiap lima puluh tahun, dan hal tersebut merupakan standar perubahan yang cukup pesat. Selain itu juga, disarankan bahwa tidak ada satu hal pun yang menentang perubahan, namun pelestarian kota bersejarah tetap harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan perubahan yang ada (RTPI, 1994).

Keperdulian yang meluas ke segala kalangan tersebut ditandai dengan diadakannya sebuah pesta dukungan oleh Duncan Sandy dan the Civic Amenities Act menerima sebuah Royal Assent pada tanggal 27 Juli 1967. Kepentingan khusus dari kebijakan konservasi beralih dari nasional ke lokal, begitu juga dengan segala hal yang berhubungan dengan administrasi berubah dari kepentingan arsitek dan ahli sejarah ke perencana (Ashworth and Tunbrigde, 1990). Kebijakan konservasi alami berubah menjadi meliputi seluruh area bersejarah ketimbang dari sebuah area spesifik. Hal ini dikarenakan isu konservasi sudah sebaiknya dilaksanakan secara meluas. Tidak dapat dipungkiri bahwa bila sebuah ‘townscape’ dapat dilestarikan dan ditangani dengan baik, maka hal tersebut akan berpengaruh pada baik tidaknya manajemen tata guna lahan pada kondisi sekarang maupun masa mendatang yang juga akan berpengaruh pada faktor sirkulasi, ruang-ruang publik dan juga faktor sosial ekonomi lainnya.

B. PERKEMBANGAN PERTENGAHAN

Setelah dimulainya kegiatan konservasi secara lambat pada pertengahan digulirkannya peraturan konservasi, beberapa daerah konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah lokal lambat laun bertambah secara dramatik (lihat gambar 1).

Penetapan daerah konservasi yang pertama ini memperlihatkan fokus mayoritas dari debat terhadap peraturan yang ada dimana dipertanyakan mengenai apa yang disebut sebagai kota bersejarah.

Empat buah studi percontohan memperlihatkan hal tersebut dalam subyeknya, keempat kota tersebut adalah: Bath, Chester, Chichester dan York. Namun, dukungan masyarakat yang berlebihan terhadap konservasi tidak terlihat secara nyata pada kegiatan tersebut. Persepsi Conzen akan lansekap kultural memperlihatkan tidak hanya pada keaslian jaman pertengahan namun juga townscape industrial juga mendiskripsikan karakter spesifik dari masing-masing kota. Sejak peran penetapan daerah konservasi dan manajemen ditangani oleh pemerintah lokal, definisi terhadap apa yang disebut sebagai daerah bersejarah maupun bangunan arsitektural bersejarah dirumuskan oleh setiap kepentingan masyarakat lokal.

Hal ini mungkin bukanlah apa yang telah diantisipasi sebelumnya dan keperdulian telah mulai muncul dan masih berlanjut, sampai melebihi ataupun tidak pada titik tertinggi potensial dapat dicapai. Morton menyatakan bahwa jumlah penetapan daerah konservasi yang berlanjut secara efektif akan menurunkan karakter suatu daerah dan juga akan menurunkan nilai-nilai seluruh konsep (Morton, 1991; RTPI, 1994 hal. 25). Semakin besar dan bertambahnya porsi dari jumlah peningkatan kota-kota bersejarah yang ditunjuk menjadi area konservasi, menjadikan pusat kota dari area konservasi dibuat sebagai acuan tidak terkecuali. Tidak ada lagi pertimbangan khusus bagi kota-kota berkelas elit, perencanaan konservasi menjadi sebuah gambaran standar dalam badan perencanaan pemerintah (Ashworth & Tunbridge, 1990).

Satu hal yang cukup sulit dihadapi pada kondisi meningkatnya jumlah area konservasi adalah masalah manajemen pemeliharaan gedung secara umum dan pendanaan atau biaya bagi pemeliharaan tersebut secara khusus. Peraturan telah ditetapkan sebagai respon terhadap kegiatan penataan ulang yang dirangsang karena adanya tuntutan ekonomi dan dampak setelah perang. Kebijaksanaan konservasi dirancang agar dapat menjadi hal yang paling reaktif dan ditegaskan di sini bahwa tugas dari perencana konservasi adalah untuk mengontrol dan menyalurkan permintaan-permintaan bersaing terhadap ruang di dalam kota (Ashworth & Tunbridge 1990, hal. 17). Sumber dana swasta sangat berkeinginan untuk membiayai perbaikan bangunan, selain itu pemerintah lokal mempunyai dana yang cukup untuk mendukung pemeliharaan dari area yang bersangkutan, serta bekerja keras untuk memperbaiki seluruh lingkungan publik. Dampak dari krisis ekonomi dan kejadian hancurnya kekayaan pada awal tahun 1970 tidak dapat diperkirakan.

Dalam periode yang singkat salah satu dari alasan-alasan yang tersusun di belakang peraturan area konservasi telah dimusnahkan. Keperdulian tidak lagi terfokus pada pengawasan kepentingan komersil yang bersaing tetapi terfokus pada bagaimana merangsang kepentingan tersebut. Walaupun begitu, jumlah dari penetapan area konservasi baru tidaklah menurun. Status Area Konservasi muncul untuk dapat disahkan oleh beberapa pemerintah lokal sebagai sesuatu area yang dilindungi dari kehancuran dan pengabaian bukan sesuatu obyek pengembangan atau penataan kawasan yang berlebihan. Pada dasarnya, juga terdapat kemungkinan bahwa dengan adanya perkembangan kritik-kritik terhadap program penataan ulang secara terpadu pada tahun 1950-an dan 1960-an ini, pandangan terhadap perencana-perencana menjadi sangat buruk (lihat gambar 2). Kebijaksanaan konservasi menawarkan pengesahan kembali badan perencana lokal sebagai pemenang terhadap kepentingan publik.

Hasil selanjutnya dari usaha perbaikan perekonomian adalah penghematan yang konstan terhadap pengeluaran publik. Pemasukan pemerintah lokal semakin menurun secara bertahap dan kemampuan mereka untuk membiayai beberapa rencana perbaikan dianggap signifikan telah dibatalkan.

Pemerintah pusat telah mengetahui masalah tersebut sehingga pada tahun 1972, Town and Country Planning (Amendment) Act, menggulirkan dana hibah yang terbatas untuk semua area konservasi yang ditetapkan sebagai area yang ‘outstanding’ (RTPI, 1994, hal. 33). Pada tahun 1975, digulirkan kembali dana hibah untuk membiayai proyek peningkatan kualitas bagi empat area pilot project. Bagaimanapun juga, walaupun semuanya mengikuti format dari English Heritage pada tahun 1983 dengan Rencana Kota dan Program Dana Hibah bagi Area Konservasi, dana penunjang dari negara tetap saja dibatasi. Pada akhirnya beban tersebut secara sedikit demi sedikit diberikan pada pemerintah lokal untuk membiayai program dari area konservasinya masing-masing.

Pergolakan ekonomi pada tahun 1970-an dan 1980-an menghasilkan konsolidasi komersil dan bertepatan dengan perubahan praktek bisnis. Akomodasi permintaan dalam sektor bisnis dan retail berubah dan banyak bangunan eksisting yang tidak lagi merasa memenuhi syarat-syarat baru. Hal ini menyebabkan pemerintah lokal menghadapi dilema baru. Di lain pihak, mereka telah berkomitmen untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas area kota. Sementara itu, mereka tidak mempunyai cukup modal finansial untuk melaksanakan komitmen tersebut sehingga menjadikan komitmen tersebut sebagai komitmen terbuka yang berakhir serta tidak bermaksud untuk mengecilkan investasi ekonomi yang ternilai. Satu hasil pada banyak area adalah pengendoran atas apa yang telah terjadi sebelumnya terhadap kebijakan konservasi yang keras dan perkembangbiakan beberapa daerah yang akan dikembangkan (lihat gambar 3). Facadism dan pastiche menjadi sesuatu yang umum bagi pengembang, arsitek dan perencana lokal, dimana mereka melihatnya sebagai solusi yang disepakati.

Kekhawatiran berkembang diantara para profesi arsitektural. Klaim telah dibuat bahwa Area Konservasi mengontrol kreatifitas individu sehingga dianggap mencekik dan bahwa negara telah mencabut beberapa bangunan yang dianggap generasi baru, dikaitkan dengan kebijakan perencanaan yang sifatnya terbatas. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa bila kontrol semacam itu telah diadopsi sebelumnya maka banyak bangunan yang mengacu pada pelestarian tidak akan pernah dibangun. Para pengembang juga menyuarakan keperdulian mereka terhadap birokrasi yang dibatasi pada pasar pengembangan. Dukungan pemerintah terhadap ekonomi ‘laissez faire’ selama tahun 1980-an menunjukkan tekanan lebih lanjut telah ditempatkan pada sistem perencanaan tidak untuk ikut campur dalam pasar bebas.

Keperdulian diekspresikan oleh beberapa kelompok menengah atas yang merasakan kelakuan para pemerintah lokal terhadap investasi ekonomi yang lebih dibutuhkan mempunyai dampak yang merusak pada karakter Area Konservasi masing-masing kota. Pada tahun 1992, the English Historic Towns Forum mempublikasikan sebuah laporan yang berjudul ‘Townscape in Trouble’. Laporan tersebut menggarisbawahi mengenai apa yang kelompok lihat sebagai erosi yang meningkat pada wajah elemen kota dan keterbatasan ruang-ruang di antara bangunan-bangunan. Praktek-praktek pengembangan konsep facadism, pastiche dan backland menjadi sesuatu masalah yang besar bagi para pengkritik sebagai sebuah usaha yang sinis untuk meredakan pengaruh konservasi.

Sebagai sebuah alternatif terhadap relaksasi kontrol, beberapa pemerintah lokal mencari jalan untuk mendukung pemikiran dari penggunaan kembali bangunan-bangunan yang ada yang sebelumnya menjadi sesuatu yang tidak terpakai oleh penghuni terdahulu. Hal yang paling berhasil adalah apa yang secara tradisional disebut sebagai kota-kota bersejarah yang dibangun di atas warisan budaya yang berkembang. Alternatif dasar tingkat komersil dikembangkan oleh pemerintah lokal dengan merancang kembali permintaan bersaing terhadap ruang di dalam kota untuk keperluan komersil. Dengan cara ini kebijakan konservasi yang reaktif dapat menjadi efektif kembali. Keberhasilan dari praktek-praktek tersebut pada kota-kota seperti York mempengaruhi perangai pemerintah. Perkembangan turis menjadi terlihat sebagai perangkat regenerasi yang dianggap sah dan hal itu merujuk pada kepentingan oleh pengguna lainnya atas properti daerah konservasi.

Jika permintaan yang dirasakan dari aktifitas komersil tradisional tidak lagi dilayani secara memuaskan oleh daerah konservasi dari bangunan dan lingkungan, maka pilihan komersil lainnya harus dicari.

‘Conservation means breathing life into buildings’

(DoE, 1987, para 4)

C. POSISI SEKARANG

Debat mengenai manajemen area konservasi berlanjut antara arsitek, perencana, pengembang dan kelompok elit (lihat gambar 4). Namun bagaimanapun juga, terdapat realisasi yang berangsur-angsur, bahkan diantara para pendukung terkuat, bahwa pemerintah lokal maupun pusat tidak dapat membiayai pelestarian tersebut, dan dampak-dampak terhadap daerah pusat kota yang dapat dihilangkan. Walaupun begitu, beberapa tingkat perubahan tidak dapat dihindari – proses perubahan bentuk tetap harus berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang berhasil.

‘the logic of preserving the total built environment leads ultimately to a complete halt to development and change; it fossilizes the physical fabric and structure of the city. The closer conservation came to that situation, the more evident it became that the capacity for change must itself be preserved.’

(Ashworth & Tunbridge, 1990, hal. 21)

‘there is widespread agreement that urban areas must change or they will stagnate.’

(Larkham, 1996, hal. 1)

Dalam hal ini, agenda dikembalikan pada apa yang telah direncanakan dalam ‘Preservation and Change’ (MoHLG, 1967) – perubahan dianggap perlu dan kebijakan konservasi harus cocok dengan perubahan tersebut. Peran badan perencanaan lokal tidak untuk mencegah terjadinya perubahan tetapi untuk mengelolanya secara efektif.

Pada sejumlah pemerintah lokal, status daerah konservasi terhadap pusat kota terlihat sebagai keuntungan yang positif dalam menarik investasi komersil. Banyak investor yang datang untuk melihat bahwa proporsi besar dari aktifitas komersil adalah tidak mengikat pada lokasi yang khusus tetapi lebih kepada kebebasan. Kualitas lingkungan merupakan pertimbangan yang penting dalam memutuskan suatu lokasi penunjukkan. Daerah konservasi dapat membuat perletakan batu pertama untuk memperluas program perbaikan pusat kota. Program-program ini mempunyai keuntungan ekonomi yang dapat terlihat apabila aktifitas-aktifitas tersebut dapat menarik investor secara sukses. Mereka dapat diutamakan dengan dana hibah yang terbatas yang disediakan melalui Engish Heritage untuk mengefektifkan pengukuran perbaikan yang disyaratkan dalam section 71 dari 1990 Act. Bentuk lain dari regenerasi pembiayaan pemerintah dapat juga digunakan untuk menunjang kegiatan-kegiatan pemerintah lokal.

Contoh-contoh termasuk di dalamnya daerah Lace Market di Kota Nottingham (Tiesdell et.al. 1996) – (gambar 5) dan daerah sepanjang Duke Street/ Bold Street di Kota Liverpool. Pada dua kasus penunjukkan Area Konservasi terjadi setelah adanya penurunan tingkat ekonomi pada kota tersebut dan keduanya ditampilkan untuk menonjolkan kualitas arsitektur dan sejarahnya. Selain itu juga telah disediakan pendahuluan untuk program-program detail dari regenerasi oleh dua Dewan Kota dan diberikan kepada mereka hal-hal yang dasar untuk mengklaim dana pendukung.

Di lain pihak terdapat kepentingan untuk menemukan penyesuaian kondisi ekonomi bagi daerah konservasi, karena adanya biaya untuk dana publik. Hal tersebut berangsur-angsur terlihat sebagai suatu sumber yang dapat mengembalikan investasi umum melalui daya tarik kepentingan komersil. Hasil tambahan dari antusiasme masyarakat terhadap warisan budaya ditangani secara prestise oleh sejumlah perusahaan yang berlokasi di dalam bangunan-bangunan atau area yang secara sejarah dianggap penting. Area Konservasi mempunyai nilai komersil yang positif dan tekanan terhadap kebijakan sekarang telah berubah dari kontrol menjadi kegiatan revitalisasi serta manajemen pengembangan (Tiesdell et al, 1996).

‘It is rarely argued that historic buildings have no utility or that there is no desire in the marketplace for their use. Rather that the economic value of these structures is less than the alternative.’

(Rypkema. 1992: Tiesdell et al, 1996, hal. 17)

Program revitalisasi bertujuan untuk meningkatkan nilai komersil dari properti yang ada di dalam Area Konservasi dengan mengurangi perbedaan yang ada dan alternatif-alternatif, serta dengan menekankan nilai komersil dari daya tarik area bersejarah tersebut. Tindakan yang baru-baru saja dilakukan terhadap kegiatan pembangunan berkelanjutan mungkin dapat membantu penyebab melalui keputusasaan dari pengembangan kota yang berlebihan yang sampai saat ini menampilkan alternatif yang murah dan fleksibel pada lokasi pusat kota.

Kebijakan pemerintah mendukung kegiatan revitalisasi melalui tekanan pada kepentingan untuk melaksanakan penilaian karakter, merencanakan pengukuran perbaikan dan mendorong adanya alternatif fungsi (PPG 15, 1994). Peranan English Heritage juga telah berubah selama beberapa tahun ini dengan mengganti penyediaan dana hibah dasar dengan bantuan perbaikan bangunan serta program perbaikan yang terbatas, menjadi pendukung positif terhadap kegiatan regenerasi kota. Tahun 1998 menunjukkan tahap pertama dari skema dana hibah tambahan untuk kegiatan konservasi – regenerasi yang disediakan oleh English Heritage bersama dengan National Lotteries Heritage Board.

‘Conservation can provide the catalyst for the sustainable regeneration of whole areas by adapting familiar and cherished old buildings to new uses.’

(English Heritage, 1998)

Saat ini dapat dirasakan bahwa adaptasi semacam itu seharusnya tidak hanya melihat melalui kesulitan yang dilihat secara cepat dimana kegiatan tourism secara potensial dihubungkan dengan penggunaannya. Bagaimanapun juga, promosi dari tourism sebagai alat utama dari kegiatan regenerasi urban telah menetapkan argumen selanjutnya, yaitu dengan menciptakan sebuah budaya Disneyland (Lord Rogers). Ada kepedulian yang menyatakan bahwa antusiasme bangsa untuk warisan budaya - dicontohkan oleh Walikota Pemerintah Departemen Warisan Budaya Nasional, yang menutup negara kedalam keadaan yang mencekik, melihat kondisi ke belakang dari warisan budaya. Porsi yang besar dari kota-kota di Inggris tidak lagi merupakan suatu hasil pekerjaan dari townscape, tetapi lebih kepada suatu pengalaman historical. Bila sebelumnya telah didebatkan bahwa saat ini sedang mendekati titik ke arah Area Konservasi, maka secara pasti saat ini telah mencapai titik ke arah museum.

Tidak semua bangunan-bangunan ataupun area yang dilestarikan dapat digunakan oleh para turis yang berkaitan dengan industri. Selanjutnya secara lebih spesifik, penggunaan semacam itu diaplikasikan pada pusat Area Konservasi kota yang mempunyai implikasi mendasar terhadap fungsi kota dari hari ke hari. Terdapat sebuah hambatan dimana bila antusiasme terhadap kegiatan tourism sebagai solusi masalah ekonomi dari Area Konservasi timbul, maka konservasi dan warisan budaya akan menjadi jalinan yang tidak dapat ditarik kembali. Prinsip dari pembangunan berkelanjutan adalah dengan menyarankan adanya alternatif-alternatif. Konversi bangunan-bangunan pusat kota menjadi akomodasi sebagai hunian saat ini sangat umum pada beberapa area perkotaan. Hal ini seperti tourisme adalah merupakan fungsi baru yang potensial, namun tidak harus terlihat sebagai sesuatu yang menjadi satu-satunya pilihan gairah.

Kebijakan konservasi dimulai dengan mengandalkan atas kontrol dan menjadi lebih proaktif. Pada kenyataannya kebijakan konservasi tersebut setelah memulai dengan kedua kondisi tersebut menjadi lebih meluas secara nasional dan hal ini akan terlihat sebagai hasil dari kondisi alami lokal dari peraturan Area Konservasi. Pihak perencana lokal mengatur Area Konservasi dibawah wewenang mereka dengan cara yang berbeda-beda untuk merefleksikan prioritas lokal. Namun prioritas dari mayoritas terbesar tidak lagi pada kebijakan namun pada manajemen.

D. RANGKUMAN

Penelitian terhadap berbagai literatur yang cakupannya relatif luas menyatakan bahwa tiidak ada hal yang lebih khusus telah ditulis mengenai hubungan antara aktifitas komersil dan area konservasi pusat kota. Informasi yang dirasa sangat sedikit dan terbatas tersebut menyatakan bahwa perencanaan konservasi memberikan pertimbangan langsung yang sedikit pada keberadaan hubungan tersebut. Bagaimanapun juga, banyak referensi dibuat berkaitan dengan masalah-masalah komersil dalam tulisan yang relatif umum dan pengaruhnya terhadap evolusi kebijakan konservasi dan prakteknya menjadi lebih jelas.

Pendahuluan dari peraturan Area Konservasi di dalam the 1967 Civic Amenities Act sebagian memaparkan mengenai reaksi kondisi ekonomi yang ringan dari era paska perang dan tingkat yang dramatik dari hasil proses redevelopment. Peraturan tersebut tidak memberikan petunjuk dan berisi mengenai kekuasaan serta tanggung jawab yang dititikberatkan pada pemerintah lokal dari pada pemerintah pusat. Pengalihan dari kontrol administrasi secara nasional ke lokal dilakukan karena dikaitkan dengan kebutuhan kondisi lokal. Di lain pihak pada saat yang sama, justru hal ini dianggap sebagai suatu kelemahan yang potensial (Molson, 1969: RTPI,1994), telah dibangun sebuah elemen yang fleksibel ke dalam sistem untuk mengambil aksi bagi berbagai kondisi yang bervariasi dan reaksi terhadap masalah lokal yang khusus. Area khusus daerah penunjukkan tidak dapat dihindarkan telah terikat erat pada perencanaan daerah pusat konservasi sebagai suatu perencanaan kota secara keseluruhan bukan hanya area bagian-bagian saja.

Walaupun susunan kata pada peraturan tersebut menyimpulkan bahwa perubahan sangat diharapkan dalam area penunjukkan ini,’ ....... the character or appearance of which it is desirable to preserve or enhance.....’ (1967 Act), namun tindakan awal sangat didasari atas kegiatan preservasi. Kebijakan-kebijakan yang ada dirancang untuk menjadi reaktif dan dapat digunakan secara luas dalam cara yang negatif untuk membendung beberapa tekanan pembangunan untuk membangun kembali area pusat kota. Tetapi saat ini, hilangnya tekanan-tekanan tersebut dan turunnya tingkat perekonomian yang berpengalaman dengan proporsi yang besar dari area-area kota, membuat munculnya kebijakan-kebijakan yang lebih proaktif. Pertimbangan perekonomian seperti itu mungkin dapat ditunjukkan sebagai renungan wajib dengan peristiwa global dan nasional, namun merespon pada dampak lokal individu dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Preservasi yang sesungguhnya, dalam pengertian tradisional, tidak dapat dicapai; sebagai sesuatu yang secara tidak langsung dinyatakan tidak hanya mempertahankan bentuk bangunan tetapi juga struktur sosial ekonomi dari sebuah area. Kenyataannya adalah bahwa seperti layaknya anak kecil yang tumbuh besar sampai bajunya kekecilan, begitu juga dengan bangunan-bangunan dan lingkungannya yang menjadi tidak layak lagi untuk kebutuhan-kebutuhan aktifitas komersil pada jaman itu. Kebijakan didasari secara sederhana oleh aktifitas preservasi yang meremehkan adaptasi dari kondisi fisik infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan perubahan, serta, kemudian mendorong pencarian akan alternatif-alternatif yang lebih diperlukan. Meningkatnya kebijakan-kebijakan proaktif yang umum selain membuat Area Konservasi lebih atraktif terhadap pengguna potensial dan eksisting; juga mencari untuk mengusulkan aktifitas-aktifitas alternatif.

Kesesuaian dari the 1967 Act muncul dalam perwujudannya sekarang, the Planning (Listed Buildings and Conservation Areas) Act 1990. Kebijakan ditinggalkan terbuka sebagai penafsiran bagi badan perencana. Bahkan panduan kebijakan pemerintah terpapar dalam PPG 15 menghindari hal-hal khusus. Tipe-tipe dari kebijakan yang digunakan oleh satu pemerintah lokal dibandingkan dengan yang lainnya mungkin sangat berbeda – di satu pihak reaktif dan dipihak lain proaktif. Selama status Area Konservasi tidak memberikan kebijakan-kebijakan yang dibakukan dalam satu set secara seragam, maka keputusan apapun atas dampak tersebut harus merupakan penyamarataan yang luas.

Untuk menyatakan bahwa status konservasi mempunyai dampak negatif atas aktifitas komersil tidak hanya merupakan penyamarataan umum, tetapi juga lebih pada ketidakpedulian pada kondisi dimana status Area Konservasi digunakan sebagai komponen yang positif dari kegiatan perbaikan yang lebih luas. Masalah aktifitas komersil juga hampir diperluas. Bentuk pasti yang tidak dapat diragukan lagi dari aktifitas komersil dapat melihat ketat kontrol konservasi sebagai sebuah halangan; terhadap hal lainnya, seperti tourisme dikaitkan dengan industrialisasi, yang kemungkinan dipandang sebagai keuntungan.

Variasi di dalam sistem Area Konservasi di negara Inggris membuatnya makin sulit untuk memutuskan segala hal dengan pasti. Namun bagaimanapun juga, hal tersebut juga mungkin terjadi untuk memutuskan dampak dari status Area Konservasi terhadap aktifitas komersil di dalam area pusat kota. Kesimpulan tersebut merupakan penyamarataan yang sederhana dimana terdapat dampak yang positif maupun negatif tergantung kondisi yang ada.

KAJIAN LITERATUR


Anon (1998) Glam of the New Hides Potential of the Old, dalam Building Design, 19 Juni 1998, hal.11.

Anon (1997) Memories of Chester, Halifax: Great North Books. Ashworth GJ &
Tunbridge JE (1990) The Tourist-Historic City, London: Belhaven Press.

Bateson K (1998) Report Attacks Urban Policies, dalam Building Design, 20
November 1998.

Bruton M & Nicholson D (1987) Local Planning in Practice, London: Hutchinson
Hughes,Q (1984) Seaport, Liverpool: The Bluecoat Press.

Clark, K (1998) Prioritising Places, Planning: 29 Mei 1998.

Conzen MRG (1975) Geography and Townscape Conservation, dalam Geissner
Geographische Schiften 1975, Glessen: Lenz-Verlag.

Department of the Environment (1987) Circular 8/87: Conservation Areas, London:
HMSO

Department of the Environment & Department of National Heritage (1994) PPG 15:
Planning and the Historic Environment, London: the Stationery Office.

Department of the Environment (1987) Policy and Practice, Circular 8/87- Historic
Buildings and Conservation Areas, London:HMSO

Donaldsons (1994), Mixed Use Development in Historic Towns, Bath: English
Historic Towns Forum.

English Heritage (1998) Conservation-led Regeneration - the Work of English
Heritage, London: English Heritage.

English Historic Town Forum (1992) Townscape in Trouble, Bath: English Historic
Town Forum.

Fairs M (1998) Three Richards Attack Needless Conservation, dalam Building
Design, 14 Oktober 1998, hal. 4.

Greed C (1993), Introducing Town Planning, London: Longman.

Harvey, D (1989), The Condition of Postmodernity. Chapter 4: Postmodernism in
The City: Architecture and Urban Design.

Jones, AN & Larkham, PJ (1993), The Character of Conservation Areas, Report
commisioned from Plan Local for the Conservation and Built Environment
Panel, London: Royal Town Planning Institute.

Larkham, PJ (1996), Conservation and the City, London: Routledge.

Larkham, PJ & Jones A (1993), Conservation and Conservation Areas in the UK:
A Growing Problem, dalam Planning Practice and Research, Volume 8 (2),
April, Hal. 19-29.

Morton, D (1998) Conservation: Quality Not Quantity? Planning, 20 November
1998.

Ross, M (1995), Planning and Heritage: Policy and Practice, London: Spon,
Second Edition.

Royal Town Planning Institute (1994), The Character of Conservation
Areas
, A Commissioned Study, London: RTPI.

Royal Institution of Chartered Surveyors and English Heritage, (1993), The
Investment Performance of Listed Buildings, London: RICS dan English
Heritage.

The Scottish Office, Resource for Urban Design Information Website,
Http://rudi.herts.ac.uk.

No comments: