Tuesday, December 28, 2004

non published 03- 2004 >> Kota Lama Semarang

Pesona Kota Lama Semarang

Teks dan Foto: Ari Widyati Purwantiasning
Arsitek, Penulis, Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta

Belajar sambil jalan-jalan adalah hobby saya sejak lama. Itulah nilai tambahnya menjadi seorang arsitek, karena kemanapun saya pergi melancong untuk berlibur selalu saja ada keingintahuan yang muncul dalam benak akan sudut-sudut yang menarik untuk dibahas maupun dipaparkan dari sebuah kota. Kali ini saya ajak anda untuk berkunjung ke Kota Lama Semarang. Mungkin semua sudah tahu dan pernah mampir di Kota Lumpia ini, tetapi apakah pernah terbersit untuk menjajagi bagian lain Kota Semarang yang dikenal sebagai Kota Lama Semarang?

Kawasan Kota Lama Semarang pada abad 18 dulunya merupakan kawasan pusat perdagangan. Pada masa itu untuk mengamankan warga dan wilayahnya, maka di dalam kawasan tersebut dibangun sebuah benteng yang dinamai Vijhoek. Dan untuk mempercepat jalur perhubungan antara ketiga pintu gerbang di benteng tersebut maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya yang diberi nama Heeren Straat. Saat ini jalan tersebut berubah nama menjadi Jalan Letjen Soeprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang disebut De Zuider Por.

Kawasan Kota Lama Semarang disebut juga Outstadt. Luas kawasan ini sekitar 31 hektar. Dilihat dari kondisi geografi, nampak bahwa kawasan ini terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga nampak seperti kota tersendiri sebagai peninggalan Belanda, sehingga sering mendapat julukan Little Netherland. Kawasan Kota Lama Semarang ini dapat disebut sebagai saksi bisu sejarah Indonesia masa kolonial Belanda lebih dari 2 abad, dan lokasinya berdampingan dengan kawasan pusat perekonomian Kota Semarang. Di dalam Kawasan Kota Lama terdapat sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan kokoh dan mempunyai sejarah masing-masing.

Di dalam Kawasan Kota Lama Semarang inilah, saya coba untuk menelusuri indahnya bangunan-bangunan kuno peninggalan jaman Belanda. Ada beberapa bangunan yang masih difungsikan sebagaimana aslinya, seperti Gereja Blenduk, namun ada juga yang sudah terbengkalai dimakan waktu tak terurus bagaikan bangunan tua yang dihuni makhluk-makhluk lain seperti rumah hantu, yaitu Lawang Sewu dimana pada atapnya menjadi tempat berlindung bagi kelelawar-kelelawar. Dua buah bangunan itulah yang menjadi kunjungan utama di Kawasan Kota Lama Semarang. Dengan adanya peninggalan bangunan-bangunan kuno tersebut, maka Kota Lama Semarang sangat berpotensi untuk dikembangkan di bidang kebudayaan ekonomi serta menjadi Kawasan Konservasi.

Gereja Immanuel atau yang lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk karena bentuk atapnya seperti blendukan, merupakan tetengger di Kota Lama Semarang. Berbeda dari bangunan lain di Kota Lama yang pada umumnya memagari jalan dan tidak menonjolkan bentuk, bangunan bergaya Neo Klasik ini justru tampil kontras. Bentuk blenduknya yang menonjol diperkuat dengan lokasi bangunan yang frontal terhadap Jalan Suari yang dulunya bernama Kerk Straat (Jalan Gereja). Bangunan ini merupakan bangunan setangkup dengan facade tunggal yang secara vertikal terbagi atas tiga bagian. Di seberang jalan, berhadapan dengan Gereja Blenduk berdiri Gedung Jiwasraya yang dilengkapi dengan ruang terbuka/ plaza bekas Parade Plein di Sebelah Timur Gereja. Saat saya memperhatikan suasana yang terdapat diantara kedua bangunan tersebut, atmosphere yang muncul justru bukan seperti layaknya Kawasan Kota Lama, tetapi hampir serupa dengan atmosphere kota di negara Eropa yang tentunya juga banyak terdapat bangunan tua.

Beralih kita menuju ke Simpang Lima, yaitu salah satu tempat yang menjadi ciri khas bagi Kota Semarang. Tempat ini merupakan alun-alun yang berada di tengah-tengah persimpangan antara Jalan Pandanaran, Jalan A Yani, Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Gajahmada dan Jalan Pahlawan. Berkembangnya fungsi Simpang Lima menjadi alun-alun merupakan saran Presiden Soekarno yang menyarankan pengadaan alun-alun di Semarang sebagai ganti dari Kanjengan. Saat ini alun-alun ini berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan, tempat berlangsungnya pertunjukkan, tempat rekreasi, bahkan sebagai pasar malam atau pasar kaget pada hari minggu. Saat hari minggu saya mencoba untuk menikmati segarnya pagi sambil naik becak dengan suami, kami akhiri perjalanan dengan mampir ke Simpang Lima. Alun-alun yang begitu luasnya, penuh dengan berbagai barang dagangan dari mulai kebutuhan rumah tangga, makanan, minuman sampai dengan sandang. Begitu banyaknya hal yang dapat dilihat sehingga rasa lelahpun tidak terasa saat mengelilingi alun-alun yang relatif cukup besar.

Beruntunglah, karena kunjungan saya ke Semarang saat itu tepat seminggu sebelum bulan Ramadhan menjelang. Karena pada saat itulah biasanya sebuah upacara seni dan budaya khas Semarang dilangsungkan. Salah satu atraksi yang cukup terkenal dan menjadi simbol di Semarang itu adalah adanya upacara Dugderan yang biasanya mengetengahkan berbagai atraksi hiburan. Kata Dugderan sendiri diambil dari kata Dug dan Der yang merupakan perpaduan bunyi bedug yang dipukul sehingga berbunyi dug...dug....dug dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan sebagai bunyi der..... Upacara Dugderan-nya sendiri biasanya dilaksanakan tepat satu hari menjelang bulan Ramadhan, namun beberapa hari biasanya satu minggu sebelumnya banyak pedagang dan berbagai atraksi hiburan sudah mulai digelar. Ciri khas dalam acara Dugderan ini adalah munculnya Warak Ngendog yang dilestarikan hingga kini. Warak Ngendog adalah jenis binatang rekaan yang bertubuh kambing dan berkepala naga dengan kulit seperti bersisik dibuat dari kertas warna-warni. Biasanya penampilan Warak Ngendhok muncul sebelum upacara Dugderan dimulai, dengan melakukan arak-arakan Warak Ngendhok dan pengantin Semarangan.

Sayang sekali saya tidak sempat melihat penampilan Warak Ngendok ini, sehingga saya tidak dapat memberikan gambaran yang lebih gamblang lagi mengenai atraksi-atraksi yang ditampilkannya. Namun saya hanya dapat memberikan sebuah alternatif perjalanan domestik yang mungkin tidak pernah masuk dalam agenda karena kurang dikenalnya Kawasan Kota Lama Semarang. Mulailah mengenal peninggalan sejarah kita bila kita ingin dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Mulailah dengan yang kecil dengan menjajagi kampung-kampung tua atau kawasan-kawasan kuno di berbagai daerah di nusantara. How do we start to conserve our heritage if we have no idea what conservation is?

Transportasi

+Lewat jalan darat, bisa menggunakan Kereta Api Argo Muria atau Kamandanu, berhenti di Stasiun Tawang yang juga merupakan Stasiun Kuno peninggalan Belanda, atau bis malam Nusantara atau Pahala Kencana berhenti di Terminal Terboyo atau Stasiun Tawang, atau dapat juga menggunakan kendaraan pribadi, kurang lebih 6 – 8 jam perjalanan

+Jika ingin perjalanan yang lebih singkat, dapat melalui jalan udara, dengan menggunakan pesawat dengan berbagai domestic airlines dari mulai Garuda Indonesia, sampai dengan Lion Air dan mendarat di Bandara Ahmad Yani

Atraksi Budaya

+Dugderan, menjelang bulan Ramadhan setiap tahunnya

+Pengantin Semarangan, disebut dengan Manten Kaji karena pria mengenakan sorban yang biasa dikenakan oleh haji. Tidak seperti pengantin Solo maupun Yogya, pada pengantin Semarangan ini keduanya mengenakan celana panjang komprang dengan payet di bagian bawahnya, sedang baju atasnya berupa baju berlengan panjang yang tertutup sampai ke leher.

+Ba’do Gablog, diselenggarakan di daerah Sodong, upacara tradisional di bulan Syawal pada hari jatuhnya ba’da kupat yaitu 6 Syawal, untuk memohon berkah dan keselamatan dengan membawa berbagai sesajen khususnya gablog yaitu ketupat nasi yang besar.

No comments: